Adolf dan Rudolf Dassler merupakan dua bersaudara yang menjadi cikal bakal dua perusahan sepatu olahraga besar saat ini. Saat Rudolf memutuskan untuk keluar dari Dassler Schuhfabrik dan mendirikan Puma, maka Adolf pun segera menutup pabrik tersebut. Tepat pada 18 Agustus 1949, Adolf mendirikan perusahaan baru bernama adidas.
Lambat laun, adidas pun punya pasar yang besar untuk produk-produk olahraga khususnya sepatu. adidas lebih dulu merilis sepatu untuk bola voli di tahun 1969 yang diberi nama "adidas Pro Model". Lalu, saat itu adidas mencoba inovasi baru dengan memotong bagian atas atau low-top. Lahirlah sneaker rendah yang sangat menawan dan diberi nama Superstar. Ternyata ini model yang menjadi ikon adidas saat itu.
Seperti yang kita tahu, pada dekade sebelumnya, sneaker kanvas Converse All-Star Chuck Taylor menguasai lapangan basket. Tapi kedatangan adidas Superstar benar-benar menjadi warna baru di lapangan basket. Bayangkan saja, 75 persen pemain basket NBA memakai adidas Supersar di tahun pertama kemunculan sneaker ini.
Meski tidak memiliki teknologi Flywire, Flightplate atau Boots seperti sekarang, saat itu adidas Superstar dianggap sebagai sepatu basket yang punya teknologi canggih. Desain low-top memberikan keuntungan bagi para pemain basket yang ingin bergerak lebih lincah di lapangan. Apalagi karet di bagian depan atau yang dikenal dengan "shell toe" memberikan perlindungan dan daya tahan lebih baik ketika melakukan gerakan mendadak saat bermain basket. Bahkan publik saat itu tidak memperhatikan adidas Stan Smith yang dirilis pada tahun yang sama. Karena adidas Superstar jauh lebih menarik.
adidas baru mengembangkan teknologi bantalan setahun setelah peluncuran pertama. Pemain terbaik NBA terbaik pada masa itu, Kareem Abdul-Jabbar adalah pemain yang menjadi pemakai adidas Superstar berteknologi baru tersebut. Bantalan ini memberikan kenyamanan pada si pemakai. Jerry West, juga berjasa besar membuat adidas Superstar menjadi terkenal karena memakai sneaker ini di final NBA 1970 antara Los Angeles Lakers melawan New York Knicks.
Lepas dari dekade 70-an, sinar adidas Superstar justru semakin cemerlang. Tapi bukan lagi di lapangan basket, melainkan merambah ke budaya jalanan. Anak-anak muda Amerika Serikat saat itu mulai membawa gaya NBA ke budaya jalanan. Lalu puncaknya di tahun 1980, Run-D.M.C., sebuah grup musik rap asal Quenns, New York City, memulai revolusi baru terhadap adidas Superstar. Mereka selalu mengenakan sneker adidas Superstar dan berbagai perlengkapan olahraga sebagai ciri khas ketika tampil di panggung. Bahkan karena cintanya dengan brand berlogo tiga garis ini, Run-D.M.C menciptakan lagi berjudul "My adidas" di album "Raising Hell" yang dirilis tahun 1986.
Ada satu peristiwa yang luar biasa ketika Run-D.M.C menggelar konser di Madison Square Garden. Mereka meminta 40 ribu penonton untuk mengangkat sneaker adidas-nya. Pemandangan mengesankan itu ternyata dilihat oleh salah satu karyawan adidas yang saat itu menyaksikan konsen. Run-D.M.C. pun akhirnya mendapatkan kontrak kerjasama dengan adidas senilai satu milyar dolar Amerika. Kesepatan ini tak hanya membawa dampak bagi adidas dan Run-D.M.C., tapi juga berpengaruh pada budaya sneaker hingga kini.
Pada tahun 2005 lalu, adidas merayakan 35 tahun peluncuran Superstar. Perusahaan juga meluncurkan berbagai model adidas Superstar dengan kolaborasi ikon-ikon musik, fashion dan seni.
Koleksi-koleksi adidas Superstar juga akan hadir di acara Sneaker Madness 2017. Sneaker Madness adalah kegiatan padat selama dua hari yang melibatkan para pecinta sneaker dan digelar di Surabaya. Di dalamnya ada transaksi, barter, raffle, pameran, dan lain-lain. Sneaker Madness diproyeksikan menjadi kegiatan kultur sneaker terbesar di Jawa Timur. Acara ini akan berlangsung pada 14-15 Oktober 2017 di Convention Hall, Lantai 6, Tunjungan Plaza 3, Surabaya.
Foto: fahrenheitstore.nl, stopthebreaks.com, mrporter.com, stoy.com, sneakerlab.net, wp.com
adidas Superstar, Dari Lapangan Basket ke Jalanan
07 Sep 2017 13:34
| Penulis : Tora Nodisa