Indiana Pacers melakukan keputusan yang cukup menarik dalam kurun dua musim terakhir. Di tengah pandemi virus korona, badai cedera, dan laga di "gelembung" Disney, Pacers masih berhasil lolos ke playoff. Menariknya, di tengah kondisi yang luar biasa sulit dan masih terhitung berhasil, Pacers malah memutuskan untuk memecat Nate McMillan.
Pemecatan ini berujung dengan diangkatnya Nate Bjorkgren, asisten pelatih Toronto Raptors mengisi posisi McMillan. Hasilnya pun berantakan, Pacers terseok-seok dan gagal lolos ke playoff untuk kali pertama sejak 2015. Situasi ruang ganti bahkan disebut tak kondusif dan akhirnya Pacers kembali memecat pelatih mereka.
Bjorkgren hanya bertahan satu musim dan Pacers menjatuhkan pilihan nahkoda musim ini kepada Rick Carlisle. Carlisle adalah pelatih kawakan yang pernah membawa Dallas Mavericks juara dengan status sebagai kuda hitam.
Situasi Mavericks dan Pacers sebagai organisasi bisa dibilang serupa. Keduanya adalah tim dengan pasar menengah. Seringkali, pemain bintang mereka dapatkan dari NBA Draft, bukan dari pertukaran atau free agency. Rasanya pula, ini yang diharapkan oleh manajemen Pacers kepada Carlisle.
Namun, apa yang terjadi sejauh ini justru menimbulkan tanda tanya besar. Secara statistik personal pemain, Pacers tampak cukup luar biasa. Akan tetapi, secara hasil akhir, tim ini justru baru meraih enam kemenangan dari 14 gim.
Lima pemain Pacers menorehkan rataan setidaknya 14 poin per gim. Satu di antaranya bahkan lebih dari 20 poin per gim. Jika melihat statistik semata, maka seharusnya tim ini sudah layak disebut tim yang solid untuk bersaing di playoff. Namun, seperti yang sudah kami bilang, hasilnya justru terbalik.
Malcolm Brogdon adalah top skor Pacers sejauh ini. Dalam delapan gim, ia menorehkan rataan 23,6 poin, 6,9 rebound, dan 6,4 asis per gim. Selain asis, dua statistik lainnya adalah yang tertinggi di karier Brogdon. Meski akurasi tripoinnya sedang tidak sebagus musim-musim sebelumnya (28 persen), efektivitas tembakan keseluruhan Brogdon masih aman di angka 50 persen.
Domantas Sabonis yang di dua musim sebelumnya secara beruntun masuk ke jajaran All Star juga menorehkan statistik yang tidak buruk. Memang catatan 18,3 poin, 11,2 rebound, dan 3,8 asis per gim jadi yang terburuk dalam tiga musim terakhir. Namun, angka ini masih bisa dibilang spesial untuk ukuran bigman yang tidak dominan membawa bola di NBA.
Tak berhenti di dua nama ini saja, statistik barisan pemain pendukung Pacers juga masih solid. Myles Turner solid dengan 14,2 poin, 8,5 rebound, dan 3,2 blok per gim. Caris LeVert yang baru bermain lima kali masih membukukan 17,2 poin dan 4,2 asis per gim. Ruki, Chris Duarte, bahkan bisa dibilang memberi bantuan besar dengan 14,8 poin dan 4,4 rebound per gim, bersama akurasi tripoin sampai 40 persen.
Statistik-statistik individu di atas harusnya bisa memberi kemenangan lebih banyak untuk Pacers. Namun, yang terjadi sebaliknya dan ini pun memancing tanya, apa yang sebenarnya terjadi di tim ini?
Jawaban dari pernyataan ini rasanya bisa sedikit terjawab saat kita bergeser ke statistik secara tim. Utamanya, kita akan berkaca pada catatan statistik four factor atau empat faktor penentu kemenangan di NBA.
(Baca juga: Empat Faktor Penting Pembawa Kemenangan untuk Sebuah Tim Basket)
Pacers memang berada di lima besar untuk urusan efektivitas tembakan (eFG%) dengan 54,3 persen. Untuk OReb% pun, Pacers masih di tujuh besar liga dengan 29,9 persen. Sekali lagi, angka-angka ini harusnya membawa mereka ke kemenangan karena secara hitung-hitungan, mereka sudah mengunci 60 persen kemenangan (eFG% = 40 persen, OReb% = 20 persen).
Akan tetapi, penyebab kemenangan tak datang ke Pacers adalah kemampuan bertahan mereka yang memang amburadul. Lawan-lawan Pacers berhasil memiliki eFG% di angka 51,3 persen (selisih 3 persen yang tidak terlalu jauh). FTA% atau seringnya tim lawan mendapatkan tembakan gratis juga sangat tinggi di angka 25 persen. Ini adalah terburuk ketiga di liga.
Pacers sendiri tercatat sebagai tim lima terbawah untuk urusan persentase turnover (TOV%). Mereka memiliki catatan 16,1 persen, hanya lebih baik dari Lakers, Magic, Timberwolves, Cavaliers, dan Rockets. Di sisi sebaliknya, mereka juga tak bisa membuat lawan membuat turnover tinggi. Persentase lawan membuat turnover saat berhadapan dengan Pacers hanya di angka 13,4 persen.
Satu lagi, kembali ke frekuensi tembakan gratis. Selain membuat banyak pelanggaran yang memudahkan lawan mendapatkan kesempatan menembak tanpa gangguan, Pacers juga tak banyak membuat situasi tersebut dalam menyerang. Ya, FTA% hanya di angka 19 persen, lima terbawah di liga.
Secara garis besar, Pacers memang adalah tim yang efektif dalam menembak. Pemain-pemain seperti Brogdon, Sabonis, Duarte, Turner, bahkan LeVert yang masih jarang bermain masih dalam kaidah efektivitas yang apik. Offensive rebound pun, bisa dilihat mereka sangat agresif. Pemain-pemain di atas memiliki rataan setidaknya empat rebound per gim.
Namun, permasalahan terbesar Pacers adalah bertahan. Selain Turner, praktis mereka tidak punya pemain yang benar-benar piawai dalam mematikan lawan. Brogdon dan LeVert memang sempat diyakini sebagai two-way player, tapi rasanya semua pihak harus mulai berpikir ulang mengenai predikat tersebut.
Pacers mungkin masih bisa bersaing untuk dua peringkat terakhir di playoff dengan skuat yang mereka punya kali ini. Namun, kekalahan akan lebih sering datang jika mereka menghadapi tim yang agresif menyerang ke area kunci, memiliki akurasi tembakan gratis yang baik, dan solid dalam bertahan, setidaknya untuk mematikan Brogdon.
Saya yakin, jika situasi tak berubah sampai tahun baru, maka Pacers akan melakukan pertukaran pemain di tengah musim demi mendapatkan satu pemain spesialis bertahan, utamanya di area sayap. Kemungkinan juga pemain tersebut adalah pemain dengan kemampuan menembak tripoin yang baik. Nama seperti T.J. Warren (kalau sudah pulih), Jeremy Lamb, Justin Holiday, hingga Torrey Craig kemungkinan akan jadi aset pertukaran mereka.
Pacers sebagai organisasi sebenarnya sudah memantapkan hati pada Brogdon, Sabonis, dan Turner sebagai tiga poros pembangunan skuat mereka. Dalam perjalanannya, mencari pelengkap ketiga pemain tersebut, Pacers memang cukup kesulitan.
Utamanya sekali lagi, yang memiliki kemampuan bertahan solid. Jika ini bisa mereka dapatkan, sebenarnya tak perlu banyak hal yang diubah dari Pacers. Tinggal kesabaran selama setidaknya dua musim ke depan untuk melihat bagaimana tim ini melangkah.
Foto: NBA