Bagi saya, apa pun "sport" atau olahraganya, sisi kemanusiaannya selalu jadi daya tarik utama. Bagaimana seseorang, atau sebuah tim, berjuang dan bekerja keras mencapai performa terbaik, menuju hasil terbaik. Di sisi lain, sisi kemanusiaan itu pula yang membuat olahraga tidak sempurna. Bermain-main dengan emosi kita. Karena tidak ada manusia yang sempurna.
Ayrton Senna, idola nomor satu dalam hidup saya, punya motto kondang: Driven To Perfection. Semangat menuju kesempurnaan. Tidak sempurna, tapi selalu berjuang untuk menuju sempurna.
Dari awal, kalau memang ingin terlibat di olahraga, kita harus menerima dan ikhlas dengan ketidaksempurnaan itu. Olahraga, sport, seperti halnya segala aspek dalam kehidupan, tidak mungkin selalu membuat kita bahagia.
Kekecewaan merupakan bagian dari sport. Melatih kita untuk selalu sadar diri. Selalu introspeksi. Selalu berupaya jadi lebih baik.
Yang penting, kekecewaan itu merupakan hasil dari sebuah proses persaingan yang baik. Yang adil. Yang sportif. Salah satu tulisan spanduk paling kondang di setiap kegiatan olahraga di negara kita: Junjung Tinggi Sportivitas.
Yang paling menyakitkan adalah: Kalau kekecewaan itu terjadi karena sesuatu yang tidak "sporting." Apalagi, kalau diakibatkan oleh sistem yang tidak baik, pengadil (juri atau wasit) yang tidak baik. Lebih parah lagi: Kalau tidak ada nawaitu untuk membuat sistem itu lebih baik. Karena itu bisa diartikan: Nawaitu-nya memang membuka peluang untuk berbuat tidak baik.
Mohon maaf, mungkin saya terlalu naif. Terlalu berkaca pada liga-liga olahraga besar di negara-negara maju yang masyarakatnya juga maju. Tapi mereka pun telah menjalani proses puluhan tahun menuju seperti sekarang.
Untuk sebuah kompetisi jadi baik, supaya tim-tim pesertanya jadi lebih baik, dan supaya pemain-pemainnya bisa berkembang lebih baik, maka dibutuhkan pengadil yang sebaik mungkin. Sama seperti sistem penegakan hukum. Kalau sistemnya karut marut, masyarakatnya bisa karut marut.
Dalam hal ini, saya sangt fall in love dengan bagaimana liga-liga olahraga di Amerika mengedepankan kualitas wasit dan memastikan keputusan-keputusannya sebaik mungkin dan akuntabel.
Liga terbesar di dunia, NFL, menurut saya sangat dahsyat tentang itu. American football itu olahraga brutal, olahraga keras. Supaya segalanya berjalan baik dan sportif di lapangan, sampai diturunkan tujuh wasit sekaligus dalam satu pertandingan. Berdiri di berbagai posisi, mengamati berbagai posisi. Satu wasit utama lantas membuat keputusan terakhir sesuai masukan atau diskusi dari wasit-wasit lain.
Dan setiap kali ada pelanggaran, maka wasit utama itu akan menyalakan mikrofon. Menyampaikan secara tegas keputusannya, kesalahannya apa, dan yang salah pemain nomor berapa, serta hukumannya apa. Semua yang ada di dalam stadion bisa mendengarkan.
Kalau ada keputusan yang dianggap tidak adil, maka tim bisa melakukan banding langsung di lapangan. Kemudian, wasit akan mengamati semua rekaman, lalu memutuskan untuk mengoreksi keputusan atau menegaskannya. Kalau dia salah, maka dia akan mengumumkannya lagi lewat mikrofon. Semua di stadion bisa mendengar. Kalau dia tetap merasa benar, dia juga mengumumkan. Lalu, tim yang protes (dan kalah) otomatis kehilangan satu timeout.
Tentu saja, sehebat apa pun nawaitu untuk lebih baik, tetap saja ada kesalahan-kesalahan. Bahkan, semua bisa salah bersamaan. Ambil contoh sebuah pertandingan musim lalu. Pemain Kansas City Chiefs, Tyreek Hill, mencoba menangkap bola di kawasan endzone dan mencatat touchdown (setara gol). Dia terbang menangkap bola itu, jatuh punggung duluan. Bola terlepas kontrol, mendarat di tubuhnya tanpa menyentuh tanah.
Wasit menyebut dia gagal menangkap. Chiefs juga tidak memprotes. Bahkan Tyreek Hill pun tidak memprotes. Semua tidak sadar, kalau bola tidak pernah menyentuh tanah, mendarat di atas tubuh Hill. Secara aturan, itu touchdown. Rekaman-rekaman ulang menegaskan itu. Penonton pun baru sadar setelah rekamannya beberapa kali ditayangkan di layar stadion.
Tapi sudah telanjur. Itu tidak dicatat sebagai touchdown.
Manusiawi sekali bukan? Walau nawaitu-nya adil, semua tidak sadar kalau itu keputusan salah.
Bicara soal rekaman itulah kenapa nawaitu penyelenggaraan sekarang memang harus seadil-adilnya. Ini zaman serba digital. Semua bisa merekam. Semua bisa mengambil cuplikan rekaman, lalu menyebarkannya via berbagai platform media sosial. Kesalahan akan kelihatan, kesalahan akan menyebar viral.
Saya sendiri juga penyelenggara kegiatan olahraga. Walau hanya liga basket SMA. Karena liga pelajar, tentu saya tidak mungkin menggunakan sistem dan teknologi seperti NBA. Yang menggunakan sistem pengawasan berlapis. Kalau keputusan wasit di lapangan kurang pas, ada pengawas ekstra di stadion, plus pengawas ekstra lagi di kantor pusat NBA.
Kemudian, mekanisme instant replay-nya (IR) juga dahsyat. Sama seperti NFL, ketika mengumumkan hasil IR, sang wasit utama juga berbicara lewat mikrofon menjelaskan kepada seluruh penonton dan pemirsa televisi.
Kalau ternyata keputusan salah itu telanjur dibuat dan tak sempat dikoreksi, maka NBA setelah pertandingan akan mengumumkan evaluasinya sendiri. Dengan sportif menyebutkan kalau wasit di pertandingan itu telah membuat keputusan salah. Hasil pertandingan memang sudah tidak bisa diubah, tapi NBA mengakui kalau ada kesalahan pada wasit. Menunjukkan kalau nawaitu-nya memang seadil mungkin demi reputasi dan perkembangan liganya.
Di DBL, kami tentu tidak secanggih NBA. Tapi, sejak beberapa tahun lalu, kami sudah bertahap menerapkan IRS (instant replay system). Baru di beberapa kota besar, di babak-babak terpenting seperti playoff. Alatnya berupa empat kamera, harddisk, dan replay control sederhana. Itu saja.
Paling tidak, wasit punya alat untuk mengevaluasi keputusannya secara langsung di lapangan.
Walau ini liga SMA, kami ingin menunjukkan kalau nawaitu kami adalah menuju sebaik mungkin. Tidak mungkin sempurna, tapi sebaik mungkin.
Yang lebih rumit pernah kami terapkan waktu saya menjadi commissioner atau pengelola National Basketball League (NBL) Indonesia, liga profesional Indonesia pada 2010-2015.
Bersama seluruh klub peserta, kami menyepakati aturan-aturan, dan kami membahasnya setiap seri. Setelah sepakat, maka tugas kami sebagai pengelola liga adalah meng-enforce aturan-aturan itu.
Pernah terjadi soal pelanggaran dari pemain, melakukan aksi pemukulan. Sekilas tidak terlihat. Dan untuk membuktikannya, lalu menjatuhkan sanksi dan denda, maka kami harus bisa menunjukkan video secara jelas. Lalu, keputusannya harus dibuat dalam 24 jam, supaya tidak mengganggu berlangsungnya pertandingan-pertandingan selanjutnya (basket bisa main tiap hari).
Pernah, dalam satu kejadian, kami punya tiga rekaman angle kamera, namun yang satu tertutup badan wasit. Sehingga kami tidak membuat keputusan, karena bukti tidak mutlak. Namun, pemain yang sama membuat kelakuan sama di laga selanjutnya. Saat itu, bukti kami konkret. Malam itu juga, kami membuat laporan videonya, mengirimkan ke seluruh tim, lalu mengumumkan hukumannya (sanksi larangan bermain dan denda Rp 20 juta, hasil denda akan disumbangkan untuk kegiatan sosial liga).
Sudut pandang memang penting. Pernah juga, sebuah tim merasa dirugikan oleh wasit atas keputusan foul yang sangat kunci dalam hasil akhir pertandingan. Saking marahnya, pengurus tim itu sampai memberikan ancaman-ancaman fisik kepada wasit.
Kami, sebagai pengelola, langsung melihat rekaman dari berbagai angle kamera. Ternyata, wasit memang benar. Foul itu terjadi beneran. Kebetulan, kalau dilihat dari jajaran bangku tim, pelanggarannya tidak kelihatan. Tapi dari kamera-kamera lain jelas.
Hebatnya, tim itu sportif. Melihat bukti itu, mereka yang ganti minta maaf kepada wasit.
Yah, itulah olahraga. Tidak ada yang sempurna. Bisa membuat kita sangat bahagia, bisa membuat kita sangat kecewa. Yang penting nawaitunya. Memang niatnya membuat atau menuju lebih baik, atau niatnya membuat ada kemungkinan untuk berbuat tidak baik.
Semoga saja semua olahraga di Indonesia ini nawaitunya memang menuju lebih baik. Dan kalau memang nawaitunya begitu, ya segala upaya tentu dilakukan untuk mencapainya. Tidak membiarkan ketidakadilan mencederai sportivitas... (*)
Foto: DBL Indonesia