Sulawesi Utara dan DKI Jakarta adalah final yang sangat ideal untuk nomor putra di basket PON XX Papua. Keduanya tampil nyaris tanpa cela sepanjang turnamen ini. Meski sama-sama menelan satu kekalahan, baik Sulut dan DKI Jakarta tetap solid.
Keduanya bahkan memiliki gaya bermain dan sederet catatan yang cukup serupa. Secara statistik, DKI Jakarta berada di urutan pertama untuk total poin dan Sulut di peringkat tiga. Di antara keduanya, ada Jawa Tengah yang dikalahkan oleh Sulut.
Secara akurasi, keduanya juga berdekatan. DKI Jakarta jadi tim dengan akurasi terbaik kedua di liga dengan 41,9 persen. Sulut ada dua tingkat di bawahnya dengan 34,4 persen. Meski secara akurasi keseluruhan kalah, Sulut unggul di akurasi tripoin dengan 27,4 persen berbanding 23,4 persen.
Ya, meski secara akurasi Sulut ini tidak istimewa, mereka punya dua hal yang membantu mereka meraih kemenangan demi kemenangan. Pertama jelas keteguhan hati, rasa percaya yang tinggi untuk bisa menang atas semua lawan mereka. Hal ini mereka translasi dalam permainan di lapangan yang seolah tak kenal lelah selama 40 menit bahkan lebih.
Hal kedua adalah turnover. Sulut adalah tim dengan turnover terendah kedua, mereka hanya kalah baik dari Banten. Sulut membuat total 68 turnover dalam lima gim, atau 12,1 per gim. DKI Jakarta sendiri sudah membuat 82 turnover dalam jumlah gim yang sama, setara dengan 16, 4 per gim.
Dua hal ini sangat perlu dicermati oleh DKI Jakarta untuk mendapatkan emas. Pasalnya, tim seperti Bangka Belitung, Jawa Timur, bahkan Jawa Tengah lengah atas dua hal ini. Turnover mereka menggunung kala berhadapan dengan agresivitas berdasarkan semangat pantang menyerah Sulut yang tampak tak mentereng di atas kertas.
Ya, sebelum PON digelar, tidak banyak yang memperhitungkan Sulut. Bahkan, saat saya bilang mereka berpotensi mengejutkan, salah satu rekan saya mengira saya sedang bercanda. Namun, Sulut benar-benar memukau selama ini.
Selain Fernando Manansang yang sudah kami ulas secara terpisah, Sulut punya nama seperti Andrew Lensun, Greans Tangkulung, hingga Luis Golung, dan William Pontoh yang mengisi rotasi menit bermain Sulut secara masif. Mereka-mereka ini yang akan membawa sejarah untuk Sulut, terlepas dari hasil akhir yang akan mereka capai.
Untuk DKI Jakarta, menjadi unggulan seolah sudah jadi rutinitas mereka di gelaran PON bahkan gelaran nasional lainnya. Namun, sejauh ini, di bawah asuhan Tondi Raja Syailendra, DKI Jakarta menunjukkan bahwa mereka siap menerima ekspektasi tersebut.
DKI Jakarta sama sekali tak mengendur. Serupa dengan Sulut, hampir di semua gim, DKI Jakarta selalu turun dengan intensitas tinggi, full court press. Jika Sulut bermodal rasa percaya bahwa mereka bisa mengalahkan siapa saja, DKI Jakarta membawa modal bahwa, "Ya, kami adalah yang terbaik di Jakarta, kami sesuai ekspektasi."
Deretan pemain seperti Aldy Izzatur, Ali Bagir, Yesaya Saudale, dan Patrick Nikolas sudah berpengalaman di panggung sebesar ini. Mental untuk menghadapi tekanan harusnya bukan lagi masalah. Tantangan terbesarnya kini adalah ego mereka dalam menjaga setiap jengkal keunggulan yang mereka bangun.
Secara matchup pemain, laga final ini juga bisa dipastikan sangat seimbang. Saran saya, Anda jangan lewatkan pandangan dari duel Fernando melawan Ali Bagir. Saya tak melihat ada pemain lain yang akan ditugaskan untuk menjaga masing-masing. Aldy mungkin akan mengisi rotasi menjaga Fernando jika Bagir istirahat atau ada situasi tukar jaga. Namun, saya yakin Fernando dan Bagir akan bertemu sepanjang gim.
Sulut dan DKI Jakarta, pertarungan akan berujung pada mentalitas masing-masing tim. Klise memang, tapi siapapun yang menginginkan medali emas lebih dari lawannya, mereka lah yang layak mendapatkannya. Sulut dan DKI Jakarta, satu gim terakhir untuk menentukan apakah perjalanan mereka ke Papua berujung dengan senyuman atau tangisan. Selamat bertanding!
Foto: Hariyanto