"Merdeka," adalah kata yang akan banyak kita dengar sepanjang bulan Agustus. Baik diucapkan anak kecil yang sedang memakai baju tentara dengan memegang bendera kecil dari plastik atau dari ibu-ibu yang secara konsisten menggunakan baju merah setiap tahun mengumandangkan kata "Merdeka" ini.
Sudah 76 tahun kita merdeka, tapi nyatanya tak benar-benar merdeka. Alih-alih merdeka diresapi dengan makna sebenarnya yang bebas (dari perhambaan, penjajahan) atau berdiri sendiri, kata "Merdeka" lebih berperan sebagai jargon semata.
Saya sendiri jujur selalu merasa sedikit kikuk di tengah perayaan kemerdekaan karena selalu dimulai dengan teriakan," Merdeka!" Itu tadi. Bukankah tujuan negara ini merdeka adalah untuk bisa mengembangkan diri lebih lagi secara mandiri, tak terkungkung oleh negara atau ideologi lain.
Tenang, ini bukan tulisan mengenai politik. Tidak banyak yang bisa kita bahas dari politik salah satu negara dunia ketiga ini selain terus melesetnya omongan-omongan elite negara ini. Paling elektabilitas lagi elektabilitas mulu. Saya akan tetap berbicara tentang basket, yang menariknya, juga belum merdeka.
Banyak yang belum merdeka di dunia basket kita baik secara profesional atau secara keseluruhan. Di daerah, banyak anak-anak dengan semangat tinggi ingin bermain basket, tapi lapangan tidak memadai. Ada lapangan, tapi ring cuma satu. Ada lapangan, ring dua, tapi bola tak mumpuni. Ada semuanya, tapi ia kesulitan mengembangkan kemampuan karena tidak ada pelatih yang cukup berdedikasi untuk membimbingnya. Boro-boro fokus belajar keilmuan basket, makan saja susah (ini bahkan sebelum pandemi).
Saat semuanya sesuai, ingin ke profesional, mereka pun belum merdeka dari jerat gaji tidak standar (karena memang belum ada standarnya). Sudah mengembangkan diri, ingin pindah tim, belum juga merdeka dari aturan restricted free agent. Memang garis besarnya, kita ini belum merdeka.
Secara ideologipun kemerdekaan masih jauh dari angan-angan. Kita pun belum merdeka dari pola pikir bahwa basket adalah urusan postur atau tinggi badan tubuh. Bayangkan, untuk berpikir secara bebas merdeka bahwa dengan postur lebih kecil kita bisa menang saja tak mampu, mana mungkin kita bisa benar-benar menang di pertandingan.
Saya adalah orang yang percaya bahwa apa yang kita pikirkan, kita yakini, kita ucapkan, akan menjadi kenyataan di suatu saat nanti saat semesta mendukung. Saat upaya-upaya yang kita lakukan ke sana sudah sesuai, maka kesempatan akan datang dan kita akan menyambutnya.
(Sumber foto: fiba.basketball)
Saat seseorang berpikir di awal, "Ah lawan kita tinggi-tinggi, kita pasti sulit menang." maka terjadilah. Otak adalah sebuah organ ciptaan Tuhan yang ajaib. Ia tahu semua pikiran kita dan akan menyalurkan itu ke seluruh anggota tubuh sebagai sebuah rangsangan. Saat kita berpikir kita akan kalah, ya anggota tubuh kita akan berada dalam mode kalah. Silakan tanya dokter tentang hal semacam ini.
Kami dari Mainbasket berupaya sesering mungkin untuk memasukkan ideologi bahwa basket bukan semata urusan tinggi badan. Ring memang benar ada di atas, tapi banyak cara untuk menahan orang yang lebih tinggi bisa menaruh bola ke sana. Banyak cara pula agar orang lebih pendek bisa memasukkan bola dari halauan pemain tinggi.
Tidak, kami tidak menyalahkan Anda semua yang masih percaya, berpegang teguh pada tinggi badan, itu bukan salah Anda. Ini adalah ideologi turun-temurun yang mungkin sudah ada sejak nenek moyang kita benar-benar bekerja sebagai pelaut, bukan pegawai negeri. Wajar saja jika Anda berkecil diri jika kita akan kalah dari yang lebih tinggi di basket.
Namun, percayalah, basket lebih kompleks dari itu. Kami sudah menyinggung beberapa kali bahwa di level tertinggi, sebuah olahraga itu tak hanya bergantung pada kondisi fisik dan bakat. Itu sebabnya kita bisa melihat sepak bola Indonesia juara atau bermain apik di level kelompok umur dan lalu hilang ditelan bumi di level senior. Pun begitu dengan basket kelompok umur, kita bisa mencuri beberapa kemenangan dan babak-belur di senior.
Di awal, basket memang ada faktor fisik yang dilihat. Beranjak semakin dekat ke profesional ada faktor kekuatan, ketangkasan (skill), intelegensia (IQ) yang juga terus berkembang. Dalam hal seperti ini, sudahkah kita berkaca untuk diri kita sendiri, adakah upaya-upaya menguatkan hal-hal di atas? Oh ya, bahkan intelegensia itu tidak hanya berkembang dari pengalaman bermain basket semata, banyak cara di luar bermain untuk mengembangkan hal itu, paling dasar dan mudah, membaca.
Tim putri Jepang Olimpiade berhasil menunjukkan hal itu secara gamblang ke kita. Mereka mengalahkan semua stigma yang kita percaya sampai akhirnya bertemu Amerika Serikat. Amerika Serikat jadi satu-satunya tim yang gagal Jepang kalahkan sepanjang Olimpiade, dua kali main, dua kali kalah. Lucunya, ada yang benar-benar yakin bahwa Amerika Serikat menang karena tinggi badan mereka!
Setelah Olimpiade 2021 kemarin, tim ini memiliki rekor (70-3) sejak 1992. Ya, hanya kalah tiga kali di level internasional. Kekalahan terakhir mereka di laga internasional terjadi pada 2006. Mereka meraih medali emas di tujuh Olimpiade beruntun! Hebat sekali tinggi badan mereka memang.
Tidak-tidak, kalimat terakhir saya bercanda. Jelas, Amerika Serikat menang dan dominan bukan karena tinggi badan mereka. Mereka superior dari semua sisi dan tinggi badan bukan yang jadi keunggulan mereka. Jawaban bahwa tinggi badan yang membawa mereka menang enam medali emas adalah jawaban yang sangat malas untuk saya.
Para pemain putri Amerika Serikat ini sudah menguasai semua hal yang harus dikuasai oleh pemain basket. Buktinya saja, tim-tim Eropa berupaya sekuat tenaga untuk merekrut mereka setelah WNBA berakhir. Mereka bahkan rela membayar dua atau bahkan lima kali lipat dari WNBA supaya mereka bergabung. Apakah tim-tim Eropa melakukan hal itu karena tinggi badan?
Saya tidak akan membawa Anda sejauh ini tanpa contoh asli. Jika tinggi badan adalah kunci kemenangan Amerika Serikat atas Jepang di final atau bahkan di grup, mari kita lihat statistik di tim Amerika Serikat. Mereka tampil dominan dengan trio Brittney Griner, Breanna Stewart, dan A'Ja Wilson. Namun, lihat catatan pelapis mereka yang secara tinggi badan, bahkan lebih tinggi dari Breanna dan A'Ja.
Ya, Amerika Serikat punya dua bigman cadangan Sylvia Fowles dan Tina Charles. Menariknya, kedua pemain ini tidak kalah tingginya, tapi tidak pernah berkutik melawan Jepang. Di babak grup, keduanya jelas tak memiliki ketangkasan yang cukup untuk lepas dari tekanan perangkap Jepang.
Sylvia mencetak 4 poin, 4 rebound ,dan 3 turnover selama 10 menit di lapangan. Ia mencatatkan +/- terburuk untuk Amerika Serikat di angka -6. Tina lebih buruk lagi, gagal mencetak angka (0/5) selama 18 menit di lapangan. Ia hanya merebut 4 rebound dan justru membuat 3 foul serta 2 turnover. Tina memiliki +/- terendah kedua di Amerika Serikat dengan -2.
Di final pun serupa, Sylvia dan Tina total mengombinasikan cuma tiga poin dari 1/5 tembakan. Tina bermain 11 menit sedangkan Sylvia empat menit. Secara rebound pun, keduanya hanya total meraup tiga rebound. Di statistik +/-, Sylvia memiliki catatan -4 sementara Tina -5.
(Sumber foto: fiba.basketball)
Jika tinggi badan adalah kunci Amerika Serikat menang atas Jepang, maka kedua pemain ini juga akan punya catatan yang sama dengan Brittney yang mencetak 30 poin dan memiliki catatan +36. Nyatanya tidak, kedua pemain ini justru jadi titik lemah Amerika Serikat.
"Ah ini hanya terjadi di sektor putri, di putra pasti berpengaruh." Justru postur adalah hal konyol di nomor putra. Kita sudah disuguhi banyak hal mengenai si pendek yang tetap dominan di basket. Mulai dari Isiah Thomas, Isaiah Thomas, bahkan Allen Iverson. Saat bertahan pun, kita ada Draymond Green dan Ben Wallace yang menunjukkan bahwa mereka bisa menghalau lawan untuk mendekatkan tangan ke ring.
Saat kami bilang bahwa Rudy Gobert adalah sosok yang menyeramkan di basket internasional tanpa defensive three seconds, ini bukan karena tinggi badannya. Gobert adalah salah satu pemain dengan kemampuan membaca serangan lawan terbaik di dunia. Jangan pernah remehkan hal ini. Jika ia berbahaya cuma karena tinggi, Prancis harusnya memilih Moustapha Fall yang lebih tinggi darinya.
Jika belum bebas atau bahkan belum berani membebaskan diri dari ideologi tinggi badan ini, kita akan selamanya kalah. Buruknya lagi, saya juga sempat melihat orang di dalam tubuh tim nasional meyakini tinggi badan adalah kunci kemenangan. Kalau memang demikian, pertanyaan terbesarnya, apa yang Anda lakukan di sana? Buat apa menjadi bagian dari tim nasional yang (berdasarkan ideologi Anda) sudah pasti kalah dari negara-negara lain?
Saat kita menyampingkan postur, lihat apa yang bisa kita capai di cabang olahraga lain. Bulu tangkis misalnya, “Bukankah shuttlecock di lempar ke atas, yang lebih tinggi harusnya lebih cepat menyambar?” Malu kalian sama mendiang Markis Kido, Minions, dan Greysia Polii serta Apriyani Rahayu.
Atlet lari, Lalu Muhammad Zohri juga hanya bertinggi badan 172 sentimeter dan jadi orang Asia pertama yang meraih medali di IAAF World U-20 Championship. Ia mengalahkan dua orang Amerika Serikat yang jarak tinggi badannya sekitar 10 sentimeter lebih tinggi dari Zohri.
Sekali lagi, kami tak mencari benar atau salah di sini, kami hanya berupaya menghadirkan ideologi baru buat Anda, mengganti ideologi lama yang sudah usang. Entah mengapa, saya merasa ideologi kalah postur dulu dipakai guna memaklumi kekalahan kita atas lawan saja. Mengapa? Karena kita memang tidak pernah benar-benar diajarkan untuk mengakui keunggulan teknik lawan, keunggulan level permainan lawan. "Ya kami kalah karena level kami di bawah." Alasan seperti ini baru muncul jika kalahnya lebih dari setengah botol.
Jika para pejuang kemerdekaan dulu fokus pada kekalahan postur dan senjata, kita mungkin sekarang bukanlah penduduk negara Indonesia. Hebatnya, di era seperti dulu, para pejuang menyampingkan hal tersebut dan mencari cara terbaik untuk menang. Bambu runcing memang terkesan tak masuk akal untuk memenangkan pertarungan, tapi nyatanya, itu yang ada di buku sejarah kita. Memang, ada keberuntungan yang menyertai sebuah kemenangan, tapi tanpa persiapan dan keyakinan tinggi bahwa kita akan menang, keberuntungan juga tak sudi mampir. Sejahtera!(*)
Foto: FIBA