Selasa, 30 Juli 2013, perjalanan Milwaukee Bucks meraih gelar juara NBA 2021 dimulai. Ya, perjalanan ini berawal pada delapan tahun lalu, saat manajemen Bucks cukup jeli dan percaya pada talenta muda asal Yunani, Giannis Antetokounmpo. Giannis mendapatkan kontrak skala rukinya di hari tersebut.

Sehari berselang, Bucks melakukan langkah kedua yang juga berpengaruh pada gelar juara mereka, mendatangkan Khris Middleton. Middleton datang sebagai bagian dari pertukaran Brandon Jennings ke Detroit Pistons. Tak sendiri, Middleton menyeberang ke Bucks bersama Brandon Knight, yang kala itu pamornya lebih tinggi dari Middleton, dan Viacheslav Kravtsov. Nama yang terakhir tidak sempat bermain untuk Bucks karena sebulan kemudian ia bersama Ish Smith ditukar ke Phoenix Suns untuk Caron Butler.

Dua transaksi di dua hari terkahir bulan Juli 2013 ini menjadi dua transaksi terpenting dalam sejarah organisasi Bucks di 50 tahun terakhir. Giannis (pilihan ke-15 NBA Draft 2013) dan Middleton (pilihan ke-39 NBA Draft 2012) menjadi dua tumpuan Bucks meraih juara. Giannis bahkan sudah memborong semua gelar individu kecuali pemain cadangan terbaik sedangkan Middleton dikenal sebagai salah satu pemain bermental baja atau clutch player.

Seperti yang kami dengungkan berkali-kali, keberhasilan Bucks menjadi juara ini adalah buah proses yang sangat panjang, panjaaaang sekali. Delapan tahun, tidak banyak tim di era sekarang memiliki kesabaran selama itu. Apalagi, pemain-pemain di era sekarang lebih rela mengurangi nilainya untuk gelar juara. Memiliki dua poros pemain yang berada di tim lebih dari lima tahun adalah sebuah prestasi di NBA modern ini.

Selayaknya proses, Bucks datang dari bahan yang sangat mentah. Ibarat roti, mereka bahkan belum berupa adonan per 2013 lalu. Tim ini benar-benar masih berbentuk bahan mentah yang terpisah-pisah. Bucks bahkan jadi tim terburuk NBA di akhir musim 2013-2014 dengan rekor (15-67). Oh iya, pemain terbaik mereka kala itu adalah Brandon Knight.

Memasuki musim baru, perubahan besar dan mendasar terjadi di tubuh Bucks. Bucks resmi berganti pemilik dari Herb Kohl menuju duet Wes Edens dan Marc Lasry. Pergantian ini tak serta-merta membawa Bucks langsung ke jalan yang tepat dalam waktu singkat. Sebaliknya, duet pemilik ini justru tampak cukup sabar dalam pendekatan mereka terhadap tim. Terbukti dengan dipilihnya Jason Kidd sebagai kepala pelatih baru menggantikan Larry Drew. 

Kidd kala itu baru selesai menjalani musim pertamanya sebagai pelatih di NBA. Kidd adalah orang ketiga dalam sejarah NBA yang menjadi pelatih langsung setelah pensiun sebagai pemain. Nets yang kala itu bertabur bintang ia bawa hanya lolos ke playoff dan langsung gugur di ronde pertama.

Kidd pun diharapkan mampu tumbuh bersama dan membawa pengalaman hebatnya sebagai pemain kepada barisan pemain muda Bucks. Apalagi, Bucks baru saja memilih Jabari Parker di urutan kedua NBA Draft 2014. Sayangnya, Parker hanya tampil 25 gim sebelum terkena cedera ACL dan menepi di sisa musim.

Meski begitu, Kidd mulai bisa menggali potensi duet Giannis dan Middleton. Keduanya jadi top skor kedua dan ketiga tim, hanya kalah dari Brandon Knight. Bucks meraih rekor 41-41, lolos ke playoff sebagai unggulan keenam dan gugur di ronde pertama.

Meski lolos ke playoff, Bucks masih jauh dari membentuk skuat yang mumpuni. Sekali lagi, pemain terbaik Bucks masih Brandon Knight. Giannis dan Middleton masih sekadar menunjukkan sedikit talenta mereka, belum diberi kepercayaan penuh dan belum memiliki kapasitas untuk ke sana juga.

Barulah di musim 2015-2016, duet pemilik Bucks mulai memasukkan "ideologi" mereka secara lebih masif. Pertama, mereka melakukan perubahan logo dan jersei tim. Terkesan sepele, namun ini juga berarti Bucks memasuki sebuah era baru, era modern. Di 2015 ini pula, perencanaan dan pembangunan Fiserv Forum dimulai untuk menggantikan BMO Harris Bradley Center yang sudah usang. Memang, pembangunan Fiserv Forum juga ada faktor tekanan dari NBA, tapi pemilik baru Bucks juga cukup terbuka dengan ide ini.

Sebelum musim dimulai, manajemen Bucks kembali membuat langkah manajerial yang cukup bagus dengan mendapuk Rod Thorn sebagai konsultan spesial tim. Thorn adalah sosok eksekutif yang sudah cukup ternama. Ia adalah sosok yang memilih Michael Jordan di NBA Draft 1984. Ia juga adalah salah satu dari komite pemilihan tim nasional Amerika Serikat untuk Olimpiade 1992, 1996, dan 2000. Ya, dia termasuk salah satu tokoh penting dibalik Dream Team.

Sayangnya, Bucks gagal mengulang keberhasilan mereka lolos ke playoff. Alasannya pun terlihat dengan seksama, mereka melakukan banyak eksperimen. Di musim ini, Kidd menjajal Giannis untuk bermain sebagai pembawa bola utama tim.

Statistik menunjukkan bahwa 40 persen waktu bermain Giannis di musim 2015-2016 ia mainkan sebagai point guard. Sebanyak 59 persen ia berperan di shooting guard dan sisanya, satu persen, sebagai small forward. Dengan USG% yang masih 22 persen, Giannis memiliki persentase turnover 14 persen, catatan yang cukup buruk.

Musim 2016-2017, Bucks mulai serius membangun skuat dan kejelian Thorn dalam membantu John Hammond sebagai manajer umum (GM) sudah mulai terlihat. Memang, memilih Thon Maker di urutan ke-10 tak berbuah hasil apik baik di musim itu atau bahkan sampai sekarang. Akan tetapi, di NBA Draft 2016, kejelian manajemen Bucks berujung pada hadirnya sosok Malcolm Brogdon yang terpilih di urutan ke-36.

Brogdon adalah ruki yang cukup tua, kala itu ia sudah berusia 24 tahun. Namun, ternyata Brogdon adalah permata yang terpendam dari kelas draft ini. Bersama Matthew Delavedova, Brogdon mengisi posisi point guard secara bergantian. Kidd sudah cukup melihat potensi Giannis dan mengembalikannya sebagai forwarda dengan peran bebas.

Brogdon menjawab kepercayaan tersebut dengan apik. Meski tak mencolok dengan memimpin statistik di antara para ruki, Brogdon menutup musim dengan gelar Rookie of the Year, mengalahkan Dario Saric dan Joel Embiid. Bucks finis dengan rekor (42-40), rekor terbaik mereka bersama Kidd dan rekor kemenangan pertama mereka sejak 2010.

Giannis juga berhasil membawa pulang gelar Most Improved Player di musim ini. Seluruh catatan Giannis meningkat di musim ini dan ia mengalahkan Nikola Jokic serta Rudy Gobert untuk gelar tersebut. Di musim ini pula, julukan The Greek Freak mulai terdengar karena atletisme luar biasa Giannis.

Musim 2017-2018 jadi titik awal Bucks mulai menyasar gelar juara. Pertama, mereka melakukan perubahan besar dengan melepas John Hammond dari posisi GM dan menggantinya dengan Jon Horst. Horst sendiri bukan orang baru. Ia sudah sejak 2008 menjadi bagian Bucks, namun sebagai direktur operasional. Horst adalah sosok kunci di balik perjalanan juara Bucks ini.

Mantan pegawai FedEx ini adalah orang yang cukup berani dalam bertindak, utamanya melakukan perubahan personel. Jika sejak 2013, jumlah pemain yang bermain untuk Bucks di musim reguler tidak pernah lebih dari 20 pemain, di musim pertama Horst menjadi GM, total ada 24 pemain yang melantai dengan jersei Bucks. Ia sangat aktif melakukan transaksi pemain.

Transaksi besar pertama Horst adalah "menyelematkan" Eric Bledsoe dari Suns. Drama Bledsoe yang menulis cuitan tak ingin lagi bermain untuk Suns membuat transaksi ini jadi menarik. Di Januari 2018, Horst kembali beraksi. Kali ini, korbannya adalah Jason Kidd yang harus mundur dari kursi pelatih. Kidd mundur dengan rekor (23-22). Di sisa musim, asisten Kidd, Joe Prunty membawa Bucks meraih rekor (21-16) dan untuk sekali lagi gagal di ronde pertama playoff.

Tiga langkah penting diambil Horst di jeda musim. Langkah awal, ia berhasil memboyong Mike Budenholzer menggantikan Prunty. Coach Bud datang dengan resume apik di Atlanta Hawks. Mengejutkan NBA dengan raihan 60 kemenangan dengan starter Jeff Teague, Kyle Korver, DeMarre Carroll, Paul Millsap, dan Al Horford. 

Langkah kedua, Horst memilih seorang juara NCAA, Donte DiVicenzo, di urutan ke-17 NBA Draft. Donte berkembang menjadi garda yang sama kuatnya dalam menyerang dan bertahan. Terakhir, ia berhasil merekrut Brook Lopez sebagai pemain bebas. Tiga sosok ini jadi kunci keberhasilan Bucks menjadi dominasi baru dan juara NBA 2021.

Efeknya pun bisa dibilang instan, Bucks langsung jadi tim terbaik NBA musim 2018-2019 dengan rekor (60-22). Kombinasi Bledsoe, Brogdon, Middleton, Giannis, dan Lopez jadi andalan Coach Bud. Tim ini terlihat sama kuatnya saat menyerang dan bertahan. Giannis mendapatkan MVP pertamanya di musim ini, Coach Bud dihadiahi pelatih terbaik, sedangkan Horst meraih eksekutif terbaik. Sayangnya, tim ini masih tak cukup tangguh untuk membendung Kawhi Leonard di Final Wilayah Timur. Kawhi menorehkan rerata 30+ poin di enam gim dan membawa Toronto Raptors menjadi juara NBA.

Gagal menutup musim dengan lolos ke final, Horst menatap musim 2019-2020 dengan penasaran. Langkah berani namun harus dilakukan pun ia ambil. Ia menukar Brogdon ke Indiana Pacers dengan sistem sign and trade. Dengan semangat menjaga salary cap tetap sesuai batas karena baru saja memperpanjang kontrak Middleton dan akan memberi kontrak supermaksimal untuk Giannis, Bucks mengganti Brogdon hanya dengan sosok veteran Wesley Matthews. Matthews diharapkan mampu menambah ancaman dari tripoin dan memberi bantuan untuk bertahan. Sayangnya, apa yang dimiliki Matthews tak cukup untuk membuat Bucks lari lebih jauh lagi.

Ditambah dengan pandemi virus korona yang mengharuskan gim digelar di "gelembung" Orlando, Bucks yang kembali finis pertama di musim reguler (56-17), babak belur di "gelembung." Bucks tampil tak meyakinkan dan puncaknya, kalah cukup memalukan atas Miami Heat di semifinal Wilayah Timur.

Kekalahan ini sempat membuat rumor-rumor mencuat. Giannis dikabarkan mungkin tak akan mengambil kontrak supermaksimal, lalu Coach Bud juga dalam ancaman. Seiring waktu, dua rumor tersebut gugur. Giannis bertahan dan Coach Bud (saya yakin) diberi kesempatan terakhir pada musim ini.

Kesempatan terakhir pun bukan berarti Horst tak memberi bantuan. Justru, ia memberikan bantuan terbesar dengan mendatangkan Jrue Holiday. Bledsoe yang secara statistik terus menurun dalam semua aspek dikirim sebagai tebusan untuk Holiday. Holiday mengisi ruang yang memang seharusnya diisi oleh Bledsoe, utamanya di laga final melawan Suns.

Tak berhenti di Holiday, Horst juga memberi kontrak baru untuk Pat Connaughton, merekrut Bryn Forbes dan Bobby Portis, hingga nyaris mendapatkan Bogdan Bogdanovic.

Di tengah musim pun, Horst melakukan satu langkah terakhir untuk memperkuat timnya yakni mendatangkan P.J. Tucker. Tucker seolah jadi kepingan terakhir yang melengkapi tim ini. Bucks menutup musim reguler sebagai tim dengan efektivitas tembakan terbaik kedua di NBA, tim dengan Net Rating terbaik keempat, dan juga tim paling sedikit memberikan lawan tembakan gratis. Hal-hal ini cukup menggambarkan bahwa Bucks adalah tim yang sama kuatnya saat menyerang dan bertahan meski rekor kemenangan mereka tak sebaik dua tahun sebelumnya.

Di playoff, Bucks sebenarnya mengalami banyak masalah, utamanya di efektivitas tembakan. Secara tim, mereka terjun bebas untuk tembakan. Namun, mereka menebus hal tersebut dengan pertahanan solid dan semangat tiada henti dalam mengejar offensive rebound. Alih-alih berharap keberuntungan agar lawan gagal memasukkan tembakan, Bucks membuat keberuntungan mereka sendiri dengan menambah jumlah percobaan mereka.

Saat tulisan ini saya buat, Bucks sedang memulai rangkaian parade pesta juara mereka. Sebuah pesta yang sangat layak mereka dapatkan untuk delapan tahun penantian dan perjuangan tiada henti. Semangat untuk terus menjadi lebih baik dari musim ke musim adalah kunci keberhasilan mereka.

Kesabaran Wes Edens dan Marc Lasry sebagai pemilik tim, kejelian Jon Horst dalam mencari pemain, strategi yang tepat dari Mike Budenholzer, serta kesolidan para pemain untuk menuju gelar juara menjadi sebuah sinergi yang sulit dikalahkan, bahkan oleh Suns. Sekali lagi, sebuah gelar juara yang layak dirayakan sampai seminggu ke depan. Selamat Milwaukee Bucks, now we're all gonna fear the deer!

 Foto: NBA

Komentar