“Ini ada apaan sih European Super League? Berisik banget semaleman.”
Kalimat tersebut muncul dari salah satu teman kantor saya sekitar minggu lalu. Pertanyaan yang sama ada di kepala saya sepanjang malam, membaca komentar-komentar orang di twitter dan instagram, jujur saya tidak terlalu banyak mengikuti perbincangan mengenai sepak bola.
Pertanyaan salah satu teman saya dijawab dengan cukup sederhana oleh teman saya yang lain, yang mengaku penggemar fanatik Manchester United. “Intinya, 12 tim membentuk liga sendiri atas dasar ketidakpuasan mereka kepada UEFA dan FIFA. Mereka ingin membuat liga baru yang mendukung keuangan mereka, lebih kompetitif dan komersil,” terangnya dengan sangat yakin.
“Dari dulu, kan masalah di UEFA sama FIFA adalah korupsi. Pendapatan tim dari keikutsertaan di Champions League bahkan lebih sedikit dari pendapatan tim yang bermain di Liga Inggris (Barclays Premier League). Jelas mereka cari yang lebih bisa menghasilkan, apalagi di era pandemi seperti sekarang,” tambahnya.
Obrolan tersebut membawa saya yang awalnya sekadar ingin tahu menjadi sangat penasaran. Saya telusuri beberapa artikel dan video tentang ESL (European Super League) yang mayoritas berisi muka Presiden Real Madrid, Florentino Perez. Ya, Perez adalah salah satu penggagas ESL dan juga yang paling kencang bersuara di mana-mana. Satu sosok lain yang dianggap memainkan peran krusial di sini adalah Direktur Juventus, Andrea Agnelli.
Salah satu cuitan yang saya baca di awal ESL mencuat menyebutkan bahwa Perez ingin transparansi di tubuh UEFA. Perez menggunakan kalimat yang sangat menarik perhatian saya. ”Semua orang tahu berapa gaji LeBron James, tapi tidak ada yang tahu gaji Presiden UEFA.”
Di sebuah video wawancara dengan Televisi Spanyol, Perez terang-terangan meminta transparansi dan yakin tidak akan ada hukuman untuk dia atau tim-tim peserta ESL karena UEFA tidak akan berani.
Benar saja, setelah sederet ancaman dari Presiden UEFA, Aleksander Ceferin, ditarik kemudian hari. Tim-tim “belum” akan mendapat hukuman sedangkan para pemain yang bersangkutan sama sekali bebas dari hukuman apapun. Sejauh ini, ucapan Perez mengenai ancaman UEFA yang sekadar pepesan kosong terbukti nyata.
Satu hal lagi yang membuat saya cukup tertarik dengan kasus ini adalah pengulangan Perez mengenai “menyelematkan masa depan sepak bola”. Kalimat ini cukup berat untuk keluar dari mulut satu orang saja. Secara garis besar obrolan Perez di televisi tersebut sebenarnya cukup masuk akal. Sepak bola profesional terancam mati dalam waktu dekat jika tidak beradaptasi. Adaptasi atau mati. Secara keseluruhan, pembicaraan Perez selalu berkaitan dengan upaya menyelamatkan sepak bola dengan mendapatkan uang yang lebih banyak lagi.
Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Entah sudah berapa banyak orang bicara mengenai hal ini dan menurut saya tidak ada yang salah ataupun benar mengenai hal tersebut. Untuk urusan membangun fondasi masa depan dunia profesional, maka jelas uang memang hal utama yang harus diperhatikan.
Berdasarkan statistik, memang sepak bola khususnya Eropa dalam bahaya. Menurut daftar yang dirilis Forbes mengenai 10 tim olahraga profesional dengan valuasi tertinggi, hanya ada tiga tim sepak bola di sana. Itupun mereka berada di bawah dari lima besar. Mereka adalah Real Madrid (6), Barcelona (8), dan Manchester United (10).
Mengingat sepak bola disebut sebagai olahraga yang paling digemari di dunia, daftar ini harusnya adalah tamparan keras untuk seluruh insan yang terlibat. Ada masalah fundamental yang terlihat jelas dalam pengelolaan bisnis sepak bola profesional. Apalagi, daftar ini dipimpin oleh Dallas Cowboys, sebuah tim Football America yang jumlah peminat dan jangkaunnya mungkin tidak sampai 30 persen dari sepak bola.
Monetisasi dan komersialisasi sepak bola masih jauh dari profesional. Hal ini berbanding terbalik dengan pergerakan harga pasar pemain yang semakin tidak masuk akal. Ambil contoh FC Barcelona di mana 83 persen dari pengeluaran mereka satu musim habis untuk menggaji pemain. Sedangkan pengeluaran total Barcelona sendiri hanya 469 juta euro.
Buruknya komersialisasi sepak bola semakin terlihat saat kita melihat status kepemilikan tim 10 besar dengan valuasi tertinggi versi Forbes ini. Dua dari tiga tim sepak bola ini dimiliki oleh anggota klub atau bisa dibilang semacam yayasan atau kelompok anggota. Sedangkan satu-satunya tim yang dimiliki perseorangan adalah Manchester United oleh Keluarga Glazers. Sedangkan tujuh tim lain, yang berisi tim dari NBA, NFL, dan MLB, dimiliki perseorangan atau perusahaan milik satu keluarga tertentu.
Memang ada perbedaan mendasar dari sisi mentalitas penonton olahraga Amerika Serikat dengan sepak bola Eropa ini. Jika di Amerika Serikat lebih berpusat kepada negara bagian, sepak bola Eropa bisa berkutat hanya di sebuah kota kecil. Bisa dibayangkan pecinta Los Angeles Lakers mungkin berada di sekitaran San Diego dan tidak pernah datang ke Staples Center yang ada di Los Angeles. Namun, ia tidak pernah lepas mendukung Lakers di televisi. Sedangkan sepak bola Eropa, satu kota seperti Liverpool saja bisa terpecah menjadi dua kubu. Belum lagi, mereka mungkin melewati tempat latihan dan kandang Liverpool serta Everton setiap hari saat berangkat kerja.
Mentalitas kepemilikan ini yang membuat ide ESL seperti “merampas” kebahagiaan pendukung. Padahal, jika dilihat dari proposal yang tersebar, ESL adalah kompetisi substitusi atas UCL, bukan liga domestik. Artinya, tim-tim asal Inggris misalnya, masih akan berlaga di Premier League, FA Cup, dan Carabao Cup.
Anggapan negatif selanjutnya ditujukan kepada format ESL yang tanpa degradasi. Format seperti ini dianggap menghilangkan level kompetitif sebuah liga yang menurut saya tidak cukup masuk akal. Tidak ada yang suka kalah, meski sadar kalah kelas, kita lebih sering berusaha membuat keajaiban ketimbang pasrah.
“Tanpa degradasi, peluang terjadinya pengaturan skor semakin besar.” Jika sanggahan ini keluar, sudah sadarkah Anda dengan dunia sekarang ini? Seorang rekan yang cukup mmengerti kegiatan judi olahraga pernah berkata kepada saya, ”Di dunia olahraga, tidak ada yang tidak bisa diperjudikan. Kecuali lu main futsal sama temen kantor lu, itupun kalo lu ga taruhan sewa lapangan.”
Judi, pengaturan skor, sudah mendarah daging di dunia ini. Namun, pada praktiknya, hanya sedikit yang bisa terungkap dengan jelas siapa saja aktor-aktor langsung di lapangan dan di belakang layar. Tanpa ESL, dengan atau tanpa format promosi-degradasi, peluang untuk sebuah laga dijual juga masih terus terbuka.
Ada pula ketakutan penikmat sepak bola mengenai kemungkinan sebuah tim peserta ESL hanya menurunkan skuat terbaik mereka di ESL, tidak di liga domestik. Sekali lagi, ini hal yang tidak terdengar rasional menurut saya. Saya ulangi, tidak ada tim yang ingin kalah. Buruknya lagi, kalah dari tim semenjana. Ambil contoh Manchester United, tekanan dan rasa malu akan sangat besar jika mereka kalah dari tim semenjana semacam Watford. Atas dasar itu, mereka tak bisa melakukan pendekatan seenaknya untuk semua kompetisi.
Di sisi lain, menurunkan komposisi skuat yang berbeda kelas sebenarnya juga sudah terjadi dalam waktu lama. Pep Guardiola saya yakin tidak akan menurunkan Kevin De Bruyne dan Sergio Aguero di babak penyisihan Carabao Cup melawan tim divisi keempat yang cukup mengejutkan bisa melaju jauh. Carabao dan FA Cup adalah ajang memberi menit bermain untuk pemain-pemain muda dan kita semua sudah tahu hal tersebut.
Sepak bola butuh pemasukan yang lebih guna menjaga keberlangsungannya. Ini sebenarnya sebuah fakta yang sudah diketahui banyak pihak tapi dianggap belum semengancam itu. Namun, Perez dan Agnelli mengambil peran sebagai martir dalam menyuarakan terobosan yang mungkin sudah disepakati oleh 12 tim tersebut.
Sebenarnya ada acara lain untuk menjaga tim-tim ini tetap hidup yakni pembatasan ruang gaji atau salary cap. Ya, saya tahu UEFA memiliki aturan Financial Fair Play, tapi lihat efektivitasnya, apakah benar-benar terjadi? Toh tim yang dinyatakan bersalah melanggar FFP bisa melakukan banding dan ujung-ujungnya menang. Belum lagi hukuman yang tidak signifikan, hanya sebatas dilarang melakukan transaksi pemain selama kurun jeda transfer tertentu. Tim-tim ini tidak gentar.
Bayangkan jika Chelsea terkena FFP dan dihukum tidak boleh melakukan transaksi pemain dalam dua periode. Mereka masih punya 30+ pemain yang dipinjamkan ke tim lain yang bisa mereka bawa pulang. Mereka juga punya pemain-pemain akademi baik yang hasil asli dari Inggris dan sekitarnya atau dari luar negeri. Sekali lagi, tidak berpengaruh.
Menariknya lagi, tim-tim yang membuat ESL ini sebenarnya adalah tim-tim yang berpeluang melanggar FFP itu sendiri. Saya melihat adanya kesadaran di antara mereka bahwa cara transaksi pemain ini sudah tidak sehat dan ujungnya akan semakin menyakiti keuangan tim. Oleh karena itu, jika kita tidak bisa mengurangi beban, maka kita harus menambah pemasukan dan lahirlah ESL.
Salary cap seperti yang digunakan olahraga-olahraga Amerika Serikat (khusunya NBA dan NFL) adalah cara terbaik untuk menjaga persaingan liga tetap menarik. Di NBA, pemilik tim akan dipaksa membayar lebih jika mereka melebihi batas gaji yang sudah ditetapkan. Tak tanggung-tanggung, setiap kelebihan satu dollar, mereka harus bayar dua dollar. Gaji terendah pemain NBA adalah AS$1,7 juta dollar.
Guna menjaga pergerakan gaji pemain pun, sistem draft bisa dibilang sebagai salah satu yang terbaik. Lucunya, pelatih Manchester United, Ole Gunnar Solksjaer sempat mengungkapkan bahwa sistem draft bisa membuat sebuah tim sengaja kalah untuk mendapatkan talenta terbaik di musim selanjutnya. Cara ini sudah kita (penikmat NBA) kenal dengan istilah tanking.
Selain sudah akrab, kita (penikmat NBA) juga tahu bahwa cara ini tak melulu berhasil. Lihat saja Minnesota Timberwolves yang sudah dalam lima musim terakhir terus mendapatkan bakat terbaik di draft tapi tak juga beranjak dari posisi lima terbawah keseluruhan liga. Untuk menang, kita tak sekadar bergantung pada satu bakat tertentu. Selama sepak bola adalah olahraga tim, maka menang butuh lebih dari peran satu orang semata.
Fanatisme memang wajar, namun pendukung selaiknya juga sadar bahwa tim yang mereka cintai setengah mati juga adalah sebuah entitas bisnis. Selain untuk menghibur dan memuaskan dahaga penonton, mereka juga harus menjaga keuangan dan menghasilkan keuntungan. Keuntungan bisa didapatkan dengan mengurangi beban atau menambah pemasukan. Pilihan pertama sudah tidak bisa dilakukan sekarang ini. Bayangkan saja, dengan 70 juta Euro di 2001, Anda bisa mendapatkan Zinedine Zidane. Sekarang, dengan 80 juta Euro, Anda akan mendapatkan Nicolas Pepe.
Untuk mendapatkan pemain yang memiliki level seperti Zidane sekarang, rasanya sebuah tim butuh lebihdari 120 juta Euro. Perkiraan ini saya buat karena Paul Pogba saja berharga 105 juta Euro. Angka 120 juta Euro setara sekitar 25 persen pengeluaran tim. Inipun dengan patokan pengeluaran Barcelona yang hampir 500 juta Euro. Sebuah harga yang cukup gila.
Untuk saya, tidak ada yang salah dari ESL ini kecuali cara publikasi mereka. Seluruh 12 tim peserta tampak belum koordinasi jadi saat Perez dan Agnelli pasang badan, yang lain justru ketakutan atas desakan para penggemar. Kurang lebih serupa dengan pengumuman kebijakan pemerintah mengenai mudik akhir-akhir ini, tidak ada koordinasi. Jika publikasi mereka bisa lebih halus dengan pendekatan yang tepat, rasanya publik akan bisa menerima usulan ini.
Cara penyampaian Perez yang “ingin menyelematkan sepak bola” mengingatkan saya kepada sosok Thanos yang ingin menjaga keseimbangan alam semesta. Sebenarnya niatnya baik dan jika Anda pelan-pelan menelaah ide tersebut, rasanya otak Anda jelas tidak akan berpikir itu adalah ide yang sepenuhnya salah.
Selain itu, saya benar-benar masih penasaran siapa yang membuat narasi cukup buruk atas ESL ini. Argumen-argumen yang dikeluarkan seperti yang sudah saya tulis di atas seharusnya bisa dijawab dengan mudah, bukannya langsung memotong jalur bahwa ESL mengancam sepak bola. Sekali lagi, sepak bola butuh uang, itu adalah hal yang paling pasti.
Siapa yang bercita-cita menjadi pesepakbola profesional jika tidak digaji? Kita semua mengawali sebuah mimpi memang dengan cinta, namun dunia akan menghadapkan kita pada realita. Untuk menggaji pemain, setiap tim butuh uang, pemasukan, keuntungan. Siklusnya, tim mendapatkan keuntungan, berbenah, mencari bakat dari seluruh dunia, mengasah kekurangan mereka, dan membuat nilai pemain tersebut naik. Pemain senang, fans senang (tim menang), dan tim pun mendaptkan keuntungan.
Untuk sekarang, jelas ESL hanya akan menjadi sebuah proposal yang gagal. Namun, saya yakin Perez dan Agnelli tidak akan berhenti di sini. Apalagi jika penonton tak kunjung bisa hadir di lapangan, saya rasa dukungan untuk ESL akan lebih besar dari tim-tim papan atas Eropa. Mari kita tunggu, ya setidaknya dua tahun lagi.
Foto: El Futbolero, The Guardian, AS, PSG Talks