Pada setiap akhir musim regular, IBL menutupnya dengan memberikan penghargaan kepada para pemain, pelatih dan wasit. Penghargaan yang diberikan oleh IBL untuk pemain mulai dari pemain debutan (rookie) terbaik, pemain bertahan terbaik, pemain cadangan terbaik, pemain dengan peningkatan performa terbaik, dan pemain terbaik musim ini.
Penilaian dasar dalam melihat performa pemain untuk mendukung kesuksesan tim, yaitu efisiensi serangan dan efisiensi bertahan. Efisiensi serangan dapat diartikan produktivitas angka yang dihasilkan pada setiap penguasaan serangan yang dimiliki. Jika terdapat pemain dengan produktivitas angka yang sama, maka belum tentu akan mendapatkan efisiensi serangan yang sama. Sebab masih memperhitungkan jumlah penguasaan yang didapat. Selain itu, ada juga penilaian dengan menggunakan PER yang analisisnya menggunakan 26 variabel.
Konsep efisiensi juga berlaku pula dalam menilai performa efisiensi bertahan. Pemain bertahan yang bagus adalah pemain yang dapat menurunkan efisiensi serangan lawan di bawah satu angka pada setiap penguasaan. Kemenangan Giannis Antetokounmpo (Milwaukee Bucks) dalam penghargaan pemain bertahan terbaik juga tidak terlepas dari efisiensi bertahan. Dia berhasil menurunkan efisiensi serangan lawan di bawah satu angka pada setiap penguasaan. Hanya satu musim dari 10 musim, di mana pemain bertahan terbaik tidak memiliki efisiensi bertahan di bawah satu angka pada setiap penguasaan, yaitu Rudy Gobert (Utah Jazz) pada musim 2018-2019.
Efisiensi bertahan dapat dikembangkan menjadi statistik lanjutan berikutnya yang dinamakan defensive win shares. Bahkan, dalam 10 musim terakhir, 70 persen pemenang pemain bertahan terbaik berada di lima besar defensive win shares. Hanya dua pemain, Dwight Howard (musim 2010-2011) dan Giannis Antetokounmpo (2019-2020), yang berhasil menjadi pemenang dengan efisiensi serangan dan defensive win shares sama-sama berada di peringkat satu.
Namun, menilai performa efisiensi bertahan sampai dengan menjadi defensive win shares pemain tidak semudah saat menilai performa efisiensi serangan. Terdapat beberapa variabel yang tidak tercantum dalam box score sehingga memerlukan tracking yang lebih dalam untuk menilai performa bertahan individual. Keadaan tersebut juga terjadi di Indonesia. Terbatasnya data yang tersedia menyebabkan analisis performa bertahan belum bisa sampai ke defensive win shares. Salah satu solusi yang paling cepat untuk melakukan analisis performa bertahan dengan menggunakan defensive stop.
Yang menjadi catatan, perhitungan menggunakan defensive stop memang masih sangat kasar, namun dengan segala keterbatasan saat ini, cara tersebut merupakan yang paling baik untuk menilai performa bertahan pemain.
Melakukan analisis performa bertahan pemain lebih sulit dibandingkan performa pemain saat menyerang. Kita tidak bisa hanya mengandalkan statistik tradisional untuk menilai performa bertahan dari setiap pemain. Diperlukan tracking tambahan untuk menyempurnakan variabel perhitungan efisiensi bertahan hingga menjadi defensive win shares.
Apa yang dilakukan IBL dengan segala keterbatasannya sudah merupakan yang paling baik, meskipun belum terbaik. Ke depan, semoga sudah mulai ada data tracking tentang performa bertahan yang tidak terdapat di dalam box score agar analisis performa bertahan dengan konsep efisiensi bertahan dan defensive win shares dapat dilakukan.
Penulis juga salut terhadap para pembaca setia mainbasket yang sudah aware terhadap performa pemain berdasarkan statistik. (*)