IBL

Indonesia punya ratusan juta penduduk. Kenapa sulit menemukan atlet hebat? Dari dulu saya percaya kalau kuncinya adalah tingkat partisipasi. Tapi, di Indonesia, ada banyak barrier (penghalang) untuk membuat jutaan anak bisa berpartisipasi di dunia olahraga.

Barrier besar: Tidak ada cukup fasilitas olahraga.

Barrier lain: Tidak ada izin dari orang tua, karena mereka tidak ingin anak-anaknya jadi atlet.

Barrier sederhana: Sepatu.

Untuk yang sederhana terakhir itu paling saya rasakan di dunia basket. Kebetulan, saya memang sudah belasan tahun mengembangkan basket di level SMA. Lewat perusahaan DBL Indonesia, saya dan teman-teman menyelenggarakan kompetisi basket dengan standar tinggi dari Aceh sampai Papua.

Selama belasan tahun, peserta berkembang dari tak sampai 3.000 orang menjadi lebih dari 40.000. Penonton dari belasan ribu semusim menjadi sekitar 1 juta dalam setahun. Saat ini, sekitar 1 dari 10 SMA di Indonesia adalah peserta DBL.

Kami terus bekerja keras –bersama para partner/sponsor-- untuk terus mengembangkan liga SMA itu ke lebih banyak daerah. Supaya bisa melibatkan lebih banyak lagi peserta.

Kami percaya, dengan konsep student athlete (nilai sama penting/lebih penting dari pencapaian di lapangan) DBL akan memberi banyak manfaat bagi mereka.

Sebaliknya, olahraga basket juga akan mendapatkan manfaatnya secara nasional. Semakin banyak partisipan, semakin populer jadinya olahraga ini, semakin besar pula kemungkinan menemukan bintang masa depan.

Selama bertahun-tahun itu pula, kami menemukan barrier demi barrier, yang menghalangi semakin banyak anak untuk bisa bermain basket.

Ada provinsi yang tidak punya gedung pertandingan. Ada provinsi yang punya gedung memadai, tapi tidak punya infrastruktur pertandingan (wasit, pelatih, dan lain-lain).

Tapi, yang paling menghalangi, ternyata adalah sepatu.

Ya, sepatu. Karena sepatu basket memang tidak murah. Harga kebanyakan di atas Rp 1,5 juta. Kalau pun di kisaran Rp 1 juta, maka itu yang basic. Sepatu basket memang ongkos pembuatannya rata-rata lebih tinggi dari sepatu-sepatu lain. Karena antara lain harus bisa meredam hentakan dengan baik, melindungi engkel, dan memiliki grip/lekatan memadai.

Dan karena anak-anak kita banyak bermain di lapangan beton sekolah, maka usia sepatu basket itu jadi pendek. Tidak sampai enam bulan harus diganti kalau rutin dipakai.

Ada banyak sekali cerita yang membuat kami terenyuh gara-gara masalah sepatu ini.

Saya dan teman-teman sering diomeli orang tua pemain. Mereka mengomel harus keluar uang terus untuk membeli sepatu basket, memenuhi kebutuhan hobi sang anak. Kalau setahun harus beli dua kali, maka sangat mudah keluar hampir Rp 5 juta hanya untuk sepatu basket.

Pernah, kami mendapati seorang ayah sedang belanja sepatu di DBL Store, gerai basket kami di Surabaya. Tiba-tiba sang ayah mengumpat keras, karena mengetahui sepatu yang diinginkan anaknya harganya di atas Rp 2 juta.

Dan yang paling sedih, kami sangat sering menemukan anak bermain basket menggunakan sepatu palsu. Padahal belum tentu ada jaminan kualitas dan keamanannya.

Tidak sedikit pula anak yang cedera karena masalah sepatu ini. Misalnya, dia cedera engkel parah karena orang tuanya memaksakan beli sepatu yang kebesaran. Tentu untuk alasan ekonomis, supaya tidak perlu beli sepatu lagi hingga nanti kekecilan.

Atau, anak itu cedera karena “sepatu basket bagusnya” hanya dipakai saat pertandingan. Ketika latihan dia menggunakan sepatu lari atau yang lain, dan itu mengakibatkan cedera.

Problem ini paling terasa di kota-kota kecil, atau di kota-kota di luar Pulau Jawa…

Harus ada yang berbuat sesuatu untuk menemukan solusinya!

Dalam dua tahun terakhir, sepatu basket dengan harga terjangkau itu terus mengganggu pikiran saya. Kebetulan saya termasuk kolektor sepatu, sempat mengoleksi sepatu basket pemain NBA hingga ratusan pasang. Dan karena saya orangnya suka iseng dan penasaran, saya mempelajari sepatu-sepatu itu sampai mendetail.

Sekitar sepuluh tahun lalu, sempat ada “gerakan sepatu basket murah” serupa di Amerika. Oleh bintang NBA kala itu, Stephon Marbury. Dia bikin merek Starbury, dan menjual sepatu basket di harga USD 15. Ya, sekitar sepersepuluh harga sepasang Air Jordan.

Ternyata, ada sebuah pabrik sepatu di Jawa Timur yang sempat ikut pitching untuk memproduksi Starbury. Tapi kalah kompetitif dengan pabrik-pabrik di Tiongkok.

“Bagaimana mau dijual USD 15, kalau di Indonesia keluar dari pintu pabrik harganya sudah USD 12”, kata teman pengusaha sepatu saya itu, sambil memegang prototype Starbury yang dibuat di Jawa Timur.

Seiring perjalanan waktu, merek Starbury memang tidak langgeng di Amerika. Sepatu itu menemukan hidup di Tiongkok, mengikuti perjalanan karir Stephon Marbury bermain basket di negara tersebut.

Harga USD 15 memang murah, tapi mungkin terlalu murah sehingga tidak sustainable. Saat ini, sepatu Starbury di Tiongkok dijual di kisaran USD 30-50.

Untuk melakukan gerakan serupa di Indonesia tentu punya tantangan yang sama sekaligus berbeda. Sama dalam artian harga harus sangat terjangkau tapi sustainable secara bisnis. Tanpa mengorbankan kualitas atau spesifikasi.

Pernah ada sepatu edisi DBL selama beberapa tahun. Tapi harganya masih di atas Rp 500 ribu, bahkan mendekati Rp 1 juta. Laris, tapi belum cukup untuk menjadi alat pendobrak barrier, supaya semakin banyak anak bermain basket.

Kurang lebih dalam dua tahun terakhir saya dan teman-teman di DBL Indonesia mencoba mencari cara, dan partner, untuk bisa mewujudkannya. Banyak yang merasa keberatan karena tidak yakin dengan besarnya pasar sepatu basket di Indonesia. Apakah volumenya bisa cocok?

Akhirnya, dalam setahun terakhir, kami menemukan partner itu. Dan tidak jauh, sama-sama di Surabaya, dan merupakan produsen sepatu terbesar di Indonesia. Yaitu Ardiles.

Tim kami dan tim Ardiles pun terus berkomunikasi, bersama mendesain dan mewujudkan sepatu pendobrak barrier itu. Saling bertukar pikiran, saling menantang. Semula, kami sangat berharap harganya bisa di kisaran Rp 500 ribu. Syukur-syukur bisa sedikit di bawahnya.

Ternyata, di mana ada kemauan, di sana ada jalan.

Alangkah terkejutnya kami ketika ternyata sepatu-sepatu DBL-Ardiles yang diharapkan itu harganya bisa di bawah angka tersebut. Bahkan di kisaran Rp 300 ribu! Dengan spesifikasi dan desain yang sesuai dengan tuntutan kami!

Jadilah beberapa desain sepatu itu untuk siap diproduksi massal. Sepatu yang 100 persen dirancang di Indonesia, diproduksi di Indonesia, untuk anak-anak Indonesia.

Saya pun langsung terinspirasi untuk menuliskan paragraf khusus, yang akan tertulis di dalam boks sepatu tersebut:

“Sepatu ini kami dedikasikan untuk para pemain basket muda di seluruh Indonesia. Sepatu ini diproduksi untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia, diciptakan untuk menghilangkan segala batasan yang bisa menghalangi seseorang untuk mewujudkan impiannya bermain bola basket”.

***

Dari beberapa model itu, saya minta satu desain yang menjadi “wakil saya”. Oleh teman-teman diberi nama “AZA 5”, karena “Aza” adalah salah satu panggilan saya, dan “5” merupakan nomor punggung saya saat berolahraga. Plus, ini merupakan sepatu signature saya yang kelima, setelah empat sebelumnya diproduksi bersama produsen lain.

Warnanya hitam mengkilap dengan aksen kuning elegan. Logo tulisan “DBL” di belakang bersama tanda tangan saya.

Dulu, sepatu edisi Azrul itu disebut sebagai yang paling laris. Bahkan selalu sold out, sehingga setiap tahun ada edisi baru. Dan itu terus terang membuat saya geleng-geleng kepala. Saya ini bukan pemain basket, tapi kok punya sepatu basket edisi khusus sampai lima seri!

Beberapa hari lalu, Presiden Jokowi sempat mampir ke kantor DBL Indonesia di Surabaya. Dan kami sempat menunjukkan prototype sepatu itu, sambil menjelaskan misi-misinya, bagaimana sepatu ini adalah benar-benar sepatu Indonesia.

Pak Jokowi rasanya ikut geleng-geleng kepala. Dia sempat bergumam kepada saya: “Ya ini yang namanya industri olahraga”.

Bangga? Tentu iya. Tapi di balik kebanggaan itu ada perasaan yang lebih memuaskan lagi: Bahwa sepatu itu punya misi lebih besar dari sekadar sepatu basket. Sepatu itu adalah solusi untuk meningkatkan lagi partisipasi basket di Indonesia. Supaya kelak ada ratusan ribu lagi –atau bahkan jutaan lagi-- anak baru bermain basket.

Semoga, sepatu ini mengurangi tekanan batin (dan dompet) para orang tua yang anaknya hobi main basket. Semoga, semakin banyak anak Indonesia bisa merasakan serunya bermain basket dengan benar, merasakan segala manfaatnya.

Semoga, sepatu ini juga menginspirasi insan-insan olahraga lain, dalam cabang olahraga apa pun. Bahwa untuk berkembang, kita harus meningkatkan partisipasi. Nantinya, partisipasi itulah yang akan menghasilkan dan membiayai prestasi.

Dan untuk meningkatkan partisipasi, harus ada kemauan, harus ada kerja keras, dan harus ada inovasi! (*)

Cerita ini dimuat di Jawa Pos edisi Rabu, 11 Oktober 2017

Foto: DBL Indonesia

Komentar