IBL

Tahun 1968 menjadi tahun yang buruk bagi Julian, buah hati musisi legendaris John Lennon dan Cynthia, mengingat saat itu orang tuanya harus bercerai. Suatu hari, Paul McCartney mengunjungi Julian dan ibunya di Kenwood, Weybridge, Surrey, Inggris. Rasanya sedih melihat Julian tampak tertekan karena perpisahan itu, lalu ia terinspirasi menciptakan lagu Hey Jude di dalam mobil.

Pada tahun yang sama, The Beatles kemudian merilis lagu tersebut. Lagu yang sampai hari ini masih dimainkan di jalanan-jalanan, kafe-kafe, maupun panggung-panggung yang megah. Lagu yang mengajarkan orang-orang untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Lagu yang—sesuai inspirasi pembuatnya—dibuat untuk menenangkan seseorang (dalam hal ini McCartney ingin menenangkan Julian dari tekanan konflik rumah tangga kedua orang tuanya).

Namun agaknya cerita lain juga layak untuk dikisahkan, karena Lennon sempat menyebutkan bahwa lagu itu tentang dirinya dan selingkuhannya—yang kemudia menjadi istrinya—Yoko Ono. Dan sebagian orang percaya lagu itu adalah sebuah pesan untuk penciptanya sendiri. Ketika itu McCartney dikabarkan gagal mempertahankan hubungannya dengan Jane Asher.

Oh ya, atau tentang seorang lelaki yang menenangkan dirinya dengan lagu ini, sebelum akhirnya meminta seorang perempuan menjadi kekasihnya. Atau tentang seorang lelaki, yang dengan lagu ini juga, menemukan diri telah putus dengan pacarnya. Atau lagi-lagi seorang lelaki, yang pada lagu ini, menyelamatkan diri dari patah hati. Pada akhirnya, siapa saja boleh merasa lagu itu tentang dan untuk dirinya, bukan?

 

Hey, Jude, don't make it bad

Take a sad song and make it better

Remember to let her into your heart

Then you can start to make it better

Hey, Jude, don't be afraid

You were made to go out and get her

The minute you let her under your skin

Then you begin to make it better

 

Dua bait pertama menunjukkan usaha seseorang (McCartney atau siapa pun yang menyanyikan lagu ini) kepada orang lain atau dirinya sendiri untuk membiarkannya bersedih. Kata “better” berkali-kali muncul seolah meyakinkan bahwa akan ada saatnya semua menjadi lebih baik. Setelah hafal seperti apa rasanya terpuruk, dan menyediakan waktu paling kudus untuk membiarkan kesedihan menyelimuti diri, menjadi lebih baik tak ubahnya sebuah frasa yang bernada juang. Kalau boleh mengira, Hey Jude telah berkali-kali menyelamatkan hidup seseorang.

 

***

 

Siroch Chattong menerima umpan rekannya, dan dengan sempurna melesakkan bola ke gawang Indonesia pada menit ke-47. Gol itu sekaligus menjadi gol keduanya untuk Thailand di pertandingan final leg kedua melawan Indonesia. Gol yang sekaligus membuat kans juara Piala AFF 2016 bagi kesebelasan kita menipis. Kepala Pelatih Alfred Riedl bahkan sampai menggelengkan kepada di bangku cadangan. Tim asuhannya sudah porak poranda dan sepertinya tidak banyak yang bisa ia perbuat.

Wasit lalu meniupkan peluit tanda berakhirnya pertandingan. Pemain-pemain Thailand berlarian seolah telah menjadi juara dunia. Jajaran pelatih kelihatan sumringah. Pendukung Thailand telah siap merayakannya. Satu hal yang menyakitkan dari kemenangan adalah adanya pihak yang kalah. Sayangnya, Indonesia menjadi pihak yang kalah itu.

Boaz Solossa, seorang pria tangguh asal Papua, tidak memperlihat ketangguhannya itu lagi. Ia tampak dengan wajah sedih di televisi. Tak heran kalau Ario Yosia dan Vitalis Yogi Trisna dari bola.com melaporkan Boaz menangis juga di lapangan, sementara pemain Indonesia lainnya merebahkan diri di atas rumput. Bukan pemandangan yang cukup bagus di tengah kemeriahan Stadion Rajamangala, Bangkok, Thailand, Sabtu 17 Desember 2016, setidaknya bagi kita orang Indonesia.

Lima kali, sudah lima kali kesebelasan kita mentas di final. Akan tetapi, lima kali itu pula kita gagal merayakannya. Padahal gelar juara itu batasnya hanya satu kemenangan lagi. Sedih memang, tapi mau bagaimana lagi. Toh, dengan kondisi sepak bola kita yang sekarang, masuk final saja sebenarnya sudah patut disyukuri.

Maka lagu apa lagi yang pantas selain Hey Jude dari The Beatles? Boaz dkk. akan sangat membutuhkannya untuk menyerap makna lirik dan menikmati musiknya.

 

And anytime you feel the pain

Hey, Jude, refrain

Don't carry the world upon your shoulders

For well you know that it's a fool       

Who plays it cool

By making his world a little colder

 

***

 

Tanggal 5 Mei 2015, satu tahun lebih sebelum Piala AFF, Pelita Jaya EMP Jakarta mengalami mimpi buruk dalam sejarah bola basket mereka. Saat itu mereka sedang menghadapi Satria Muda Britama (sekarang Satria Muda Pertamina) Jakarta di final National Basketball League (NBL). Jarak antara Pelita Jaya dengan gelar juara hanya sebatas menang di laga final. Mereka berada dekat sekali dengan itu, tapi nasib berkata lain. Pelita Jaya nyatanya kesulitan mengalahkan tim langganan juara seperti Satria Muda. Harapan juara kandas begitu saja malam itu.

Setahun berselang, liga pun sudah beralih tampuk kepengurusan dan berganti nama, 27 Mei 2016, tujuh bulan sebelum Piala AFF, laga final pertama antara Pelita Jaya melawan CLS Knights Surabaya berlangsung di Britama Arena, Jakarta. Malam itu menjadi malam yang menggairahkan bagi Pelita Jaya, karena mereka berhasil membuat lawannya kewalahan.

Sejak kuarter pertama, Pelita Jaya sudah mendominasi permainan. Mereka membuat Jamarr Andre Johnson, pemain naturalisasi milik CLS Knights, melakukan dua kali pelanggaran. Dengan begitu, pemain yang sekaligus dinobatkan sebagai MVP Indonesian Basketball League (IBL) 2016 itu ditarik sementara dari lapangan.

Adhi Pratama dan Brandon Jawato kemudian berhasil memanfaatkan kekosongan yang ditinggalkan Johnson. Berkali-kali keduanya menggedor pertahanan CLS. Apalagi center Herman tidak bisa bermain karena sanksi dan Isman Thoyib diusir setelah melakukan lima kali pelanggaran di kuarter empat. CLS Knights kekurangan bigman. Satu pertandingan menjadi milik Pelita Jaya.

Satu kemenangan lagi. Setidaknya hanya satu kali saja menang membuat Pelita Jaya menjadi kampiun. Adhi Pratama bicara kepada media sebelum pertandingan bahwa ia sangat yakin bisa mendapatkan piala. Kepala Pelatih Benjamin Alvarez Sipin III kelihatannya juga begitu, meski ia tak mau lengah di laga-laga yang menentukan. Akan tetapi, jalan menuju podium juara itu tidak mulus, selalu penuh kerikil.

Pelita Jaya pada akhirnya tumbang di pertandingan final kedua. Hal itu membuat Adhi kelihatannya tidak senang. Seusai pertandingan ia sulit didekati. Pemain lainnya juga menunjukkan air muka yang familiar ketika kalah, cenderung terlihat seperti campuran antara kesal dan sedih.

CLS Knights memang pandai memaksa mereka melakoni laga terakhir alias laga hidup-mati. Siapa yang menang, mereka yang juara. Penentuan, 31 Mei 2016 menjadi babak akhir dari perjalanan satu musim ini. Siapa pun yang keluar sebagai juara sebenarnya akan menjadi juara baru liga basket kita. CLS Knights telah menjadi favorit juara sejak awal musim, tapi Pelita Jaya juga punya kesempatan yang sama. Apalagi semusim yang lalu tim ini juga masuk final.

Laga berjalan seperti perkiraan, CLS Knights mendominasi di kuarter pertama dan kedua. Pelita Jaya baru bermain baik di kuarter ketiga. Mereka mendulang banyak angka untuk melanjutkan hidup mereka di kuarter keempat. Satu hal yang patut dikagumi, mereka menunjukkan semangat juang yang sangat bagus.

Kuarter keempat selalu menjadi penentu segalanya di laga-laga ketat. Skor sempat sangat tipis 56-54 di medio kuarter akhir dalam kepemimpinan CLS Knights. Namun, nyatanya itu pun belum cukup membuat Pelita Jaya naik ke podium juara. CLS Knights unjuk taringnya lagi. Sampai peluit tanda akhir pertandingan berbunyi, tim asal Jakarta tidak berhasil mengungguli lawan.

Semuanya berakhir. Peringkat dua? Secara positif bukan prestasi yang buruk-buruk amat. Seraya berlalu, salah satu di antara kita mungkin berkata, “Peringkat dua tidak terlalu buruk, kok.” Sementara beberapa dari kita justru sangat terpukul. Kita tidak pernah tahu seperti apa perasaan yang sebenarnya sampai orang itu bicara sendiri.

Namun dua kali ke final, dua kali gagal, itu saja cukup menyakitkan rasanya. Apalagi kesebelasan kita tadi. Pelita Jaya bernasib baik bila dibandingkan mereka. Akan tetapi, bagaimana pun, menjadi pihak yang kalah itu seringkali membuat orang menunduk lesu. Ah, tapi semoga ini menjadi pembelajaran yang baik untuk kemudian menjadi juara sebenarnya.

Belajar di atas adalah kata yang tepat untuk memperbaiki dan membenahi diri (dan klub juga pembinaan sejak dini dalam olahraga seperti basket atau sepak bola). Meminjam apa yang pernah dikatakan Michael Jordan, “I’ve failed over and over and over again in my life, that’s why I’m succeed.” Sebab menjadi juara adalah sebuah proses yang tak berkesudahan.

Sama halnya dengan sebuah lagu yang sejak awal kita bahas, lagu ciptaaan McCartney, yang pada akhirnya boleh dipakai untuk menenangkan siapa pun di zaman apapun. Sebuah lagu, yang sejak diciptakan, memiliki magis yang tak berkesudahan untuk dimaknai. Maka, ayo, dengarkan sekali lagi....

 

Hey, Jude, don't make it bad

Take a sad song and make it better

 

Silakan bersedih, bukankah kita bisa gagal dan bersedih berkali-kali sampai akhirnya bangkit untuk menjadi pemenang?

 

Komentar