IBL

 

Belakangan ini Indonesia kelihatan menyedihkan dan penuh drama. Menebar kebencian seolah-olah menjadi kegiatan wajib sehari-hari untuk kemudian lempar batu sembunyi tangan. Cibiran, sindiran, hujatan, hingga perisakan yang tak berdasar akal sehat tak lagi terhindarkan. Belum lagi banyaknya informasi-informasi bohong atau hoax berusaha mendangkalkan akal dan hati nurani. Dengan kondisi itu, masyarakat rentan sekali terpecah belah, terutama ketika menyangkut isu SARA.

Terakhir kali, santer terdengar di media massa maupun media sosial, sekelompok orang mengatasnamakan agama membubarkan paksa kegiatan beribadah umat lain. Sehingga rasanya merdeka di negeri ini hanya kata manis yang fiktif belaka. Kini semangat bhinneka tunggal ika hanya tinggal semboyan yang tidak pernah didengar lagi. Perbedaan itu sudah tidak bisa dirayakan dengan suka cita.

Miris memang, tapi begitulah kenyataannya. Jauh dari apa yang pernah saya pelajari di surau-surau dekat rumah dulu. Pelajaran-pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, orang lain, bangsa, dan negara, bukan malah menjadi malapetaka. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Atau tentang bagaimana menerima perbedaan. Karena Indonesia itu negeri yang unik, terdiri dari berbagai macam suku, rasa, agama, dan golongan. Namun, sekarang rasanya konsep itu sudah tidak relevan lagi. Orang-orang seolah tidak mau menerima sesuatu yang di luar konsep dirinya. Mengingat apa yang pernah dikatakan Pandji Pragiwaksono, sekarang ini kondisinya persis seperti ini: yang mayoritas belagu di hadapan minoritas, dan minoritas merasa kerdil di hadapan mayoritas.

Lantas hal di bawah inilah yang mengaitkan segala hal positif seperti kebajikan dan kebaikan, serta sikap menerima perbedaan, dengan dunia basket sebagai salah satu wadah belajarnya. Karena seperti pernyataan seorang legenda streetball Indonesia, Richard “Insane” Latunusa, dalam unggahannya di Instagram:

“Main basket itu belajar. Belajar untuk terus menjadi pribadi yang baik, di dalam maupun di luar lapangan basket!”

Awal Penciptaan    

Lebih dari satu abad lalu, seorang pengajar di Young Men’s Christian Association Training School (YMCA), Springfield, Massachussets, Amerika Serikat, menciptakan sebuah olahraga permainan. Adalah Dr. James Naismith si pencipta bola kerajang itu. Ia sengaja membuat olahraga itu untuk membuat anak-anak didiknya tetap beraktivitas di kala musim dingin.

Alasannya sederhana, Naismith ingin menjaga anak-anak didiknya tetap memiliki aktivitas positif supaya memiliki fisik segar dan bugar. Sebuah kreasi untuk menghindarkan diri dari hal-hal negatif. Permainan sesederhana alasannya yang berguna untuk orang lain, yang sampai sekarang berubah menjadi industri-industri menggiurkan. Karena basket di beberapa tempat telah menjadi harapan banyak orang, termasuk mendulang ketenaran dan uang.

Bayangkan, andai Naismith tidak peduli, tidak mau berguna bagi orang lain dan malah ingin menjadi malapetaka, hari ini tidak akan ada Michael Jordan dan sepatu-sepatu mahalnya. Tidak akan ada ikatan kontrak seumur hidup Nike dengan LeBron James yang membuatnya kaya raya. Tidak akan ada pertunjukan sirkus Harlem Globetrotters melempar bola dari gedung-gedung tinggi. Atau tidak akan ada mug cantik Garuda Bandung di kamar saya yang didapatkan secara cuma-cuma. Semangat positifnya membawa kehidupan banyak orang menjadi lebih baik.

Kisah Nyata

Sebelumnya saya pernah menulis tentang ini, tentang film-film berdasarkan kisah nyata. Film yang menunjukkan bagaimana basket bisa berguna untuk orang lain. Dan bagaimana pelakunya berusaha untuk menjadi berguna tengah krisis dan konflik, termasuk soal SARA. Saya tulis tentang mereka dalam sebuah tulisan berjudul “Hikayat Pelatih dalam Film Adaptasi”. Beberapa film itu, di antaranya: Coach Carter (2005), Glory Road (2006), Hurricane Season (2010).

Seperti juga sekilas dikisahkan dalam tulisan terdahulu, ketiga kisah ini tentu masih layak untuk dikisahkan kembali. Petikan penting terkait apa yang sedang dibahas di sini, ketiga film itu mengajarkan bagaimana sang tokoh mau berguna untuk orang lain dan menerima perbedaan. Belajar dari seorang Ken Carter (tokoh dalam Coach Carter), seorang pelatih yang sangat peduli dengan anak-anak asuhnya. Di tengah pergaulan remaja yang cukup mengkhawatirkan, Carter berusaha menghindarkan anak-anak asuhnya dari narkoba, kekerasan bersenjata, dan gangster yang saat itu lekat dengan kehidupan remaja afro-amerika.

Carter terkenal sebagai pribadi yang mengutamakan pendidikan daripada apapun. Karena pendidikan baginya adalah akses masuk menuju kehidupan yang lebih baik. Dan ia menjadikan basket sebagai juru selamat yang tepat. Kombinasi prestasi dalam pelajaran dan basket membawa anak-anak asuhnya ke tingkat yang lebih tinggi. Satu tim telah selamat dari pergaulan negatif yang bisa membawa mereka kepada malapetaka.

Tidak jauh berbeda dengan Al Collins (dalam Hurricane Season), sosok satu ini pun sangat peduli pada anak-anak asuhnya. Di tengah kesulitan akibat badai Katrina menerjang kotanya, ia rela bersusah payah mengumpulkan sisa-sisa apapun yang bisa diselamatkan di antara puing-puing. Ia lalu bekerja sama dengan pelatih rival untuk mengumpulkan anak-anak yang tersisa dari bencana itu. Mereka yang dulunya berseteru, bahkan seringkali bertengkar, kini bersatu untuk membela nama yang sama. Mereka sadar akan satu hal: tim kuat terbentuk karena persatuan.

Begitu pula dengan film terakhir, basket menjadi wadah sukses merayakan perbedaan. Seperti dikisahkan dalam Glory Road, seorang pelatih legenda NCAA bernama Don Haskins berani mengambil keputusan merekrut pemain-pemain kulit hitam di tengah isu rasial saat itu. Keberaniannya bekerja sama dengan orang afro-amerika membuahkan hasil baik. Sikap menerima perbedaannya itu membuka pintu semua orang untuk sama-sama memberi kesempatan dalam olahraga ini. Bahwa ia juga ingin menyampaikan, tidak ada diskriminasi dalam basket. Semua orang memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk bermain basket.

Gregg Popovich

Gregg Popovich adalah seorang pelatih asal Amerika Serikat. Ia terkenal sebagai kepala pelatih klub NBA, San Antonio Spurs. Namun pada dasarnya, Pop—sapaan akrabnya—adalah seorang prajurit. Ia pernah melayani angkatan udara Amerika Serikat selama lima tahun.

Silakan bertanya soal prestasi, tapi jangan harap saya menjawabnya. Sepertinya Pop sudah punya gudang sendiri untuk menyimpan semuanya. Banyak sekali. Makanya ia bisa bertahan melatih Spurs sampai dewasa ini sejak pertama kali menangani tim pada 1996. Lantas apa yang membuatnya spesial selain prestasinya?

Suatu hari pada 20 November 2016, Pop bersama seorang profesor dari Harvard, Dr. Cornel West, mencoba berbicara di hadapan publik. Mereka menjawab 250 pertanyaan dari para pelajar Sam Houston High School selama sekitar dua jam. Dalam sebuah perbincangan itu, Pop mengatakan kepada khalayak bahwa ternyata masih ada orang-orang yang peduli dan mau bergerak untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masyarakat. Karena negaranya sendiri masih penuh dengan krisis dan konflik.

Pop, dalam kesempatan itu, juga mengatakan sesuatu yang lebih penting daripada sekadar memenangkan kejuaraan. Saya kutip lengkap dalam bahasa Inggris dari tulisan Dave Zirin di The Nation:

“Win the championship? I don’t know, but it’s not a priority in my life. I’d be much happier if I knew that my players were going to make society better, who had good families and who took care of the people around them. I’d get more satisfaction out of that than a title. I would love to win another championship, and we’ll work our butts off to try and do that. But we have to want more than success in our jobs. That’s why we’re here. We’re here so you’ll understand that you can overcome obstacles by being prepared and if you educate the hell out of yourself. If you become respectful, disciplined people in this world, you can fight anything. If you join with each other and you believe in yourself and each other, that’s what matters. That’s what we want to relay to you all: that we believe that about you or we wouldn’t be here.”

Intinya, Pop mengatakan bahwa memenangkan kejuaraan itu memang hal penting. Akan tetapi, lebih daripada itu ia ingin pemain-pemainnya menjadi manusia berguna di masyarakat. Ia berharap pemain-pemain yang pernah ia asuh, sebut saja Tim Duncan atau Kawhi Leonard, menjadi pribadi yang bisa memperbaiki hal-hal salah di masyarakat. Setidaknya jika tidak bisa melakukannya sendiri, mereka harus mau belajar untuk bergabung bersama masyarakat lainnya mengentaskan permasalahan yang ada.

Bayangkan, andai orang-orang Indonesia mau mengenal basket, termasuk Gregg Popovich di dalamnya, mungkin permasalahan di awal tadi bisa teratasi. Orang-orang Indonesia perlu mengadopsi semangat yang sama untuk mengentaskan permasalahan di negaranya sendiri. Mereka perlu berpikir, ketimbang menebar kebencian ternyata ada hal-hal positif lain yang bisa dilakukan. Karena berbeda bukan berarti buruk. Kematangan dalam budaya, menurut pakar-pakar komunikasi, ditandai dengan toleransi atas perbedaan. Dan mengutuk orang lain karena mereka berbeda adalah tanda kebebalan dan kecongkakan.

Maka sudahi saja, perdebatan-perdebatan tanpa ujung itu. Sudahi saling serang dan saling tuduh. Sudahi semangat-semangat negatif anti-toleransi itu. Biarkan Indonesia berserta orang-orang di dalamnya merdeka dalam memilih kepercayaan. Biarkan orang-orang beribadah dengan baik dan benar selama masih dalam koridor hukum yang jelas. Isu-isu SARA belakangan ini hanya melemahkan apa yang telah kita bangun sebelumnya tentang persatuan dan kesatuan. Mari mengenal basket dan mengadopsi hal-hal positif di dalamnya!

 

Komentar