IBL

Suatu siang di tahun 2003 ketika perjalanan pulang dari sekolah, di tengah hawa kota Surabaya yang panas. Kayuhan sepeda saya mendadak berhenti, mata saya tertuju ke arah poster besar dekat persimpangan lampu merah yang tak jauh dari sekolah saya. Poster yang bergambarkan pemain Aspac saat itu Mario Wuysang dengan diikuti tulisan di bawahnya “Rookie Of The Year IBL 2003”.

Ya saat itu adalah tahun pertama bergulirnya Indonesian Basketball League (IBL) yang menggantikan format liga basket yang lama Kobatama. Aspac keluar sebagai juara dalam edisi IBL 2003, namun ditahun-tahun berikutnya gelar juara bergantian juga diraih tim Satria Muda yang pada waktu itu menjelma menjadi kekuatan baru basket Indonesia. Tercatat hanya dua tim tersebut yang mampu menjadi kampiun dalam edisi IBL jilid pertama periode 2003-2009.

IBL jilid pertama ketika itu bisa dibilang cukup sukses, baik dari sisi penyelanggaraan maupun kualitas pertandingan. Sayang perkembangan IBL ditahun-tahun terakhirnya menyedihkan, bahkan sempat liga berjalan tanpa memiliki sponsor utama.

Di tengah keadaan yang suram tersebut, ditahun 2009 seluruh perwakilan klub peserta meminta atau bisa dibilang juga memohon kepada PT DBL Indonesia untuk bersedia menjadi pengelola baru bagi liga basket selanjutnya. Saya melihat pilihan yang dibuat perwakilan klub saat itu adalah pilihan yang paling realistis dan memang juga bisa dibilang tidak ada pilihan lain.

Semua memiliki tujuan yang sama untuk menyelamatkan basket Indonesia. Mereka melihat kesuksesan PT DBL Indonesia yang dianggap sukses menyelenggarakan liga basket pelajar terbesar di Indonesia.

Saat itu PT DBL Indonesia bukannya tanpa penolakan ketika dimintai tolong oleh perwakilan klub peserta. PT DBL Indonesia menganggap menyelenggarakan liga basket profesional tidak semudah membalikkan telapak tangan walaupun mereka telah sukses menyelenggarakan liga basket pelajar terbesar Indonesia. Apalagi banyak sekali hal yang harus dibenahi dari peninggalan IBL.

Singkat cerita tahun 2010 di bawah bendera PT DBL Indonesia liga berubah dari IBL menjadi National Basketball League (NBL) Indonesia.

Selama NBL Indonesia saya melihat banyak sekali perubahan. Pamor basket semakin lama semakin naik, jumlah pertandingan semakin banyak, liga yang semakin dekat dengan penggemarnya, banyak merchandise yang dijual, informasi yang lengkap baik jadwal pertandingan ataupun statistik dapat diliihat di website resmi NBL Indonesia, dan masih banyak perubahan yang lainnya. Suksesnya NBL Indonesia juga mampu menarik minat sponsor-sponsor besar hadir untuk bekerjasama. Tidak main-main, bagi penyabet gelar MVP mendapat hadiah sebuah mobil dari sponsor waktu itu.

Mendekati berakhirnya kompetisi NBL Indonesia 2014-2015, selentingan-selentingan kabar bahwa tahun tersebut menjadi musim terakhir membuat saya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Banyak versi alasan mengapa NBL Indonesia bubar, tapi yang jelas terlihat alasan-alasan yang dikemukakan di publik adalah bukan alasan yang sebenarnya. Penggemar basket Indonesia saya rasa tidak bodoh, banyak yang melihat mulai ada kepentingan-kepentingan dari beberapa pihak yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Saya merasa ironis, di tengah momentum iklim basket Indonesia yang semakin baik dan glamour ini, justru dihadapkan dengan situasi yang menyebalkan tersebut. Saya teringat pidato terakhir Azrul Ananda di grand final terakhir NBL, beliau mengatakan “Basket Indonesia telah memilih jalannya sendiri”. Pidato tersebut diutarakan melengkapi video perjalanan NBL Indonesia mulai dari nol dengan iringan lagu “Don’t Stop Believin” yang diputar sebelumnya.

Liga baru akhirnya bergulir dengan memakai kembali nama Indonesian Basketball league (IBL) dengan slogan utamanya “Reborn”. Dalam benak saya kalau IBL berani memakai slogan tersebut, berarti IBL harus siap menyelenggarakan liga jauh lebih baik dari apa yang sudah NBL Indonesia lakukan dengan standar tinggi dalam penyelanggaraan liganya.

Dalam perjalanan IBL jilid dua ini, saya melihat beberapa kekurangan yang sampai akhirnya saya rasakan sendiri saat di Seri Surabaya. Ya karena memang saya berdomisili di Kota Pahlawan tersebut.

Yang pertama saya rasakan adalah sepinya promosi untuk sebuah kegiatan olahraga (nasional). Bahkan spanduk dan umbul-umbul baru ada saat hari-H pelaksanaan.

Saya tahu hal itu karena hampir setiap hari melintasi jalan masuk ke GOR Kertajaya sebelum pulang ke rumah yang juga tidak jauh dari situ. Yang kedua adalah penetapan jadwal pertandingan yang terasa kurang pas, banyak game-game yang mempertemukan klub papan atas yang seharusnya ditaruh di jam-jam “primetime” tapi malah terjadwal di siang atau awal sore harinya.

Acara grand final IBL pun tidak terasa atmosfernya, terlebih lagi saat final Game 1. Saya tidak sendiri memiliki pendapat seperti ini. Pendapat yang sama juga banyak saya lihat dari komentar-komentar penggemar basket Indonesia di akun instagram resmi IBL saat itu.

Kini sudah sekitar 5 bulan IBL tidak ada kabar sejak berakhirnya final game terakhir. Akun instagram IBL memang masih aktif, namun hampir semua postingannya hanya menampilkan profil pemain yang sedang ulang tahun. Tidak ada postingan yang menyiratkan kapan musim IBL selanjutnya dimulai.

Walaupun begitu juga terdapat hal-hal positif dari IBL kali ini. Salah satunya adalah kemudahan melihat pertandingan secara streaming via Youtube yang memudahkan bagi siapa saja untuk menonton tanpa harus melakukan registrasi apapun dan tentunya gratis. Ini tentu menjadi pilihan terbaik bagi penggemar basket ketika seri regular sedang tidak mampir dikotanya masing-masing. Di tengah keengganan para pemilik stasiun tv yang masih tidak tertarik menayangkan liga secara reguler membuat akses mudah dalam ber-streaming tadi ibarat oase di tengah padang pasir yang panas dan tandus.

Beberapa waktu ke belakang efek tidak jelasnya liga mulai berdampak cukup besar. Kabar pertama datang dari kota Malang.

Klub Bimasakti bubar dalam diam dan senyap. Sangat disayangkan bagi klub sekaliber Bimasakti yang telah menjadi tim yang secara reguler mengikuti liga basket tertinggi tanah air harus terpaksa bubar.

Kabar selanjutnya datang dari tim Garuda Bandung yang mengalami kesulitan finansial. Ini Garuda Bandung loh, salah satu tim besar yang pernah juara saat masih bernama Panasia dulu. Tour Nusantara dipilih Garuda sebagai langkah menyelamatkan tim sekaligus untuk memancing minat para investor baru nantinya.

Ketidakjelasan kapan kompetisi akan dimulai juga pasti berpengaruh pada kebijakan transfer pemain masing-masing klub, jadwal latihan, persiapan tim semacam training camp dan juga gaji pemain. Mungkin hal-hal tersebut tidak akan kita temukan di tim-tim mapan seperti CLS Knights Surabaya, Satria Muda Pertamina Jakarta, Aspac Jakarta dan Pelita Jaya EMP Jakarta. Walaupun saya yakin tim mapan sekalipun tetap merasakan efek dari ketidakjelasan liga.

Mengutip komentar Gagan Rahmat (Manajer Stadium Jakarta) “Kalau dulu sebelum musim berakhir, jadwal untuk musim selanjutnya sudah ada. Kalau sekarang sepertinya antara ada dan tiada”. Maaf saya harus jujur, IBL musim lalu secara keseluruhan masih kalah telak dari NBL Indonesia dalam hal penyelenggaraannya. Bukannya tidak bisa move on atau tidak legowo. Tapi itulah yang hal yang saya rasakan.

Di tengah kekosongan liga saat ini, untungnya masih ada kabar baik. Ada beberapa turnamen yang digelar di antaranya Perbasi Cup pada bulan Oktober dan Jawa Pos Pro-Tournament pada bulan Desember.

Mendengar berita tersebut membuat saya sedikit lega karena akhirnya bisa melihat tim-tim basket terbaik di tanah air kembali bertanding, namun di sisi lain saya sedikit mengerutkan dahi. Pasalnya kondisi saat ini saya lihat sama halnya dengan kondisi olahraga saudara-saudara kita di sepak bola di mana tidak ada kejelasan liga yang resmi dari pengurus pusat dan hanya diisi dengan beberapa turnamen.

Ada hal menarik yang saya lihat dari beberapa pernyataan perwakilan IBL di media cetak dan elektronik. Yang pertama dari Wahyu Buana (Direktur Operasional IBL). Beliau berkata, “Liga tetap berjalan dan akan dimulai bulan Desember ini, hanya saja jadwal detailnya belum bikin. Saat ini kami akan mematangkan jadwal dan akan kami umumkan bulan ini. Untuk turnamen pramusim IBL kami pastikan tidak ada.”

Pernyataan selanjutnya datang dari Hasan Gozali (Direktur Starting 5). Beliau menyatakan, “Tidak ada keinginan untuk menunda liga, kondisi ekonomi Indonesia yang menurun ditambah hasil liga yang tidak sesuai harapan membuat terpaksa berhitung ulang. Skenario terburuk liga berjalan januari 2017 dengan harapan Mei sudah selesai.”

Dari pernyataan Wahyu Buana saya dapat berasumsi bahwa IBL memang terasa kurang profesional hingga masalah jadwal yang seharusnya sudah ada jauh-jauh hari malah belum dibuat secara detail.

Sedangkan dari pernyataan Hasan Gozali selaku direktur starting 5 malah membuat saya bingung. Kondisi ekonomi mana yang menurun?

Daya beli konsumen Indonesia masih bagus, kurs Rupiah terhadap Dollar makin kuat, transaksi jual beli secara online terus meningkat dari tahun ke tahun, dll.

Lalu skenario liga yang baru berjalan Januari dan harus berakhir Mei mengharuskan pengurangan jumlah pertandingan yang sebelumnya 198 menjadi 132 saja. Ini tentu saja secara tidak langsung menurunkan kualitas liga.

Dan dari sisi waktu, berakhirnya liga di bulan Mei berarti hanya tersisa waktu sekitar dua bulan untuk menyiapkan tim nasional (Timnas) untuk gelaran Sea Games di Kuala Lumpur, Malaysia 2017 yang akan dimulai pertengahan Agustus. Padahal saya yakin semua penggemar basket tanah air ingin Timnasnya mampu melampaui pencapaian 2015 lalu di mana baik tim putra dan putri yang mampu meraih medali perak.

Saya dan beberapa teman saya sering berujar bahwa lebih baik kembalikan saja liga ini ke pihak yang memang sudah terbukti mampu agar kondisi-kondisi seperti ini tidak terjadi lagi.

Maafkan saya kalau tulisan ini mungkin menjadi tidak enak dibaca atau menyinggung beberapa pihak. Namun saya hanya berusaha mengungkapkan pendapat dari sudut pandang saya pribadi.

Dari apa yang telah saya baca, lihat dan rasakan sendiri. Bahkan sebenarnya saya menulis artikel ini lantaran permintaan teman saya sewaktu kami pulang dari bermain basket empat hari yang lalu. Di dalam mobil di tengah kemacetan jalan kami mengobrol banyak tentang kondisi liga ini. Sekedar obrolan dari penggemar basket yang tidak memiliki kepentingan apapun.

Saya hanya satu dari sekian banyak penggemar basket di tanah air ini. Saya adalah penggemar basket yang selalu punya harapan kelak basket di Indonesia dapat menjadi industri olahraga yang menguntungkan secara finansial dan juga berprestasi dalam kancah internasional lewat tim nasionalnya.

Ketika slogan “Reborn” yang digembar-gemborkan di awal namun tidak sesuai harapan, pikiran saya jadi mengarah kepada film Warkop DKI Rebron Part 1 yang saya tonton dua minggu lalu. Mungkin kondisi sekarang ini sama seperti bagian film tersebut, kondisi ini hanyalah bagian dari Part 1. Lalu Part 2-nya? Mungkin saja kembali ke operator liga sebelumnya. Sekali lagi mungkin saja, tidak ada yang tahu. (*)

Komentar