IBL

Pekan Olahraga Nasional (PON) adalah sebuah gelaran meriah dengan berbagai motif di dalam penyelenggaraannya. Namun, jika kembali ke awal, pada dasarnya PON adalah sebuah gelaran untuk mencari bibit-bibit unggul. Sebuah pencarian atlet-atlet berbakat dari setiap cabang olahraga sebagai persiapan menghadapi Asian Games New Delhi 1951 dan Olimpiade Musim Panas Helsinki 1952.

Dengan begitu, kedengarannya PON ini jadi begitu penting untuk diselenggarakan. Terlebih lagi, mengingat Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah berkata dalam pidatonya saat penutupan PON XIX/2016 di stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Kamis 29 September 2016:

“Dalam olahraga ada kejujuran, ada sportivitas, dan ada kebanggaan. Karena saat pemenang diumumkan, maka bendera daerah akan berkibar. Sejatinya, demikian pula saat olimpiade. Sehingga betapa pentingnya PON ini bagi bangsa ini.”

Begitulah pada mulanya, tetapi orang-orang agaknya sudah lupa dengan itu. Ajang mencari bibit bisa menjadi ajang saling comot atlet antardaerah demi prestasi semu. Menjadi ajang hura-hura dengan bonus melimpah, tetapi lupa pada pembinaan. Sehingga PON ini, kalau dipikir-pikir lagi, sudah jauh dari dasar digelarnya acara. Lucunya, seperti dikatakan di muka, ajang olahraga empat tahunan ini juga diwarnai berbagai motif. Salah satunya yang berbau politik.

Kalau anda melewati Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, selama gelaran PON XIX/2016, anda pasti pernah sekali atau bahkan berkali-kali melihat baligo aneh. Bukan atlet yang mejeng di sana melainkan seorang pejabat yang narsis. Padahal ajang ini semestinya mengedepankan atlet, bukan? Atau mungkin pejabat ini dulunya atlet senam Sabtu pagi di sekolah-sekolah dasar yang merasa legendaris dan perlu ditampilkan di langit?

Hal lucu lainnya, anda yang pernah mampir ke pertandingan bola basket di C-Tra Arena, Bandung, Jawa Barat, pasti melihat spanduk-spanduk menggemaskan di sudut-sudut gelanggang. Spanduk-spanduk itu memuat kata-kata penyemangat—yang tidak membuat semangat sama sekali—dengan foto seorang atau dua orang pejabat berwajah lucu.

Toh, sesuai survey kecil-kecilan Mainbasket di Twitternya, spanduk-spanduk itu malah kelihatan jadi sampah visual. Maka, untuk apa mejeng-mejeng? Tidak enak dilihat.

Tidak hanya itu, selepas pertandingan tim putri DKI Jakarta melawan tuan rumah Jawa Barat di babak semifinal pada Selasa, 27 September 2016, ada sebuah keramaian yang tidak relevan di lapangan. Orang-orang, terutama wartawan dengan kamera-kemara canggih mereka, mengerumuni pejabat-pejabat seperti grup lawak yang mengotori lantai dengan sepatunya. Padahal sudah ada peringatan untuk tidak masuk ke lapang dengan sepatu dari luar. Apalagi ketika itu masih akan ada pertandingan selanjutnya antara tim putra Jawa Timur melawan Jawa Tengah.

Entah ini sebuah perasaan yang berlebihan atau anda juga merasa demikian. Oleh karena keramaian itu, lapangan malah terlihat seperti panggung politik. Padahal lapangan semestinya jadi panggung atlet-atlet nasional untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka. Begitulah seharusnya.

Lalu, mengapa hal-hal lucu itu terjadi?

Andrea Hirata pernah menulisnya dalam dwilogi novel Padang Bulan. Ia berkata:

“Bagi para politisi dan olahragawan, waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal.”

Maka, tidak mengherankan memang mengingat kutipan di atas. Mungkin karena merasa punya persepsi yang sama atas waktu, para politikus atau pejabat ini berani mejeng dengan gaya-gaya mereka yang paling lucu, dengan wajah-wajah mereka yang paling konyol, dan kata-kata semangat yang tidak diacuhkan orang. Mereka yang tidak mau kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal itu terlewat begitu saja, berani meminjam sebentar panggung orang lain.

Anehnya, seolah menerima dengan lapang dada legitimasi pemimpinnya, atlet-atlet ini tidak merasa panggung mereka dicuri. Dalam kasus keramaian tadi, misalnya, para atlet sempat-sempatnya menyalami pejabat-pejabat heboh di tengah lapangan. Padahal salam-salaman itu bisa dilakukan di belakang lapang. Tidak perlu mengganggu acara meski sebentar saja.

Namun, begitulah politikus, selalu ingin tampil dan kelihatan bagus. Mereka tidak sadar kalau kelakuan mereka kadang seperti Opera van Java; di sana gunung, di sini gunung, di tengah-tengahnya pulau Jawa. Dalangnya bingung, wayangnya bingung, yang penting bisa ketawa. Mari bercanda di tanah legenda!(*)

Gambar: Imnotwordy.com

Komentar