IBL

 

“Teman-teman Papua Barat itu orang baik.”

Begitu kata kepala pelatih Papua Barat, Patrick Gosal, yang gagal saya rekam. Akan tetapi, kalimat itu justru terpatri dalam ingatan saya berhari-hari. Saya percaya teman-teman Papua Barat memang orang baik. Protes keras kepada wasit yang berujung kerusuhan usai pertandingan melawan Jawa Barat pada Rabu, 21 September 2016, adalah luapan emosi sekejap.

Buktinya apa? Setelah ditarik keluar lapangan, semua pemain, termasuk ofisial Papua Barat, langsung mendinginkan pikiran. Tidak ada teriakan apapun. Yang ada hanya tangisan karena merasa telah “dicurangi”.

Sehari setelah insiden itu, Papua Barat juga bermain bagus dan cukup bersih melawan Aceh. Tidak ada tindakan keras seperti hari yang lalu. Bahkan usai laga, mereka sempat menonton tim putri Papua Barat bermain. Saya bersama mereka duduk di tribun dan menghabiskan waktu yang menyenangkan. Apalagi menyaksikan mereka menari dan berteriak selalu jadi hal lucu dari uniknya orang Indonesia bagian timur.

Namun, terlepas benar ada kecurangan atau tidak, kenyataannya kekerasan memang tidak punya tempat di dunia ini. Insiden melempar kursi adalah perbuatan salah. Niat melukai orang lain adalah pelanggaran. Bahkan secara hukum pun begitu. Tidak mengherankan jika kerusuhan itu perlu diberi sanksi.

Mengapa?

Pertama, masih ingatkah kasus penyanyi dangdut Zaskia Gotik? Itu, lho, kasus pelecehan terhadap lambang negara. Saya masih tidak habis pikir, ternyata ada orang seperti itu mengaku seniman. Meski kabarnya melewati proses hukum, tetapi saya tidak menemukan sanksi apa yang ia terima. Justru yang saya temukan adalah penawaran kepada dirinya untuk menjadi duta Pancasila. Mengherankan, bukan?

Kedua, kasus siswa SMA cantik Sonya Depari. Dirinya terekam dalam sebuah video ketika tidak terima ditilang karena melanggar aturan. Kasusnya sempat viral di linimasa, baik media sosial maupun media-media nasional.

Dalam rekaman itu, Sonya terlihat beradu mulut dengan polisi sambil mengaku anak jenderal. Lucunya, pernyataan “anak jenderal” itu terbukti bohong. Yang lebih lucu lagi, saya mendapat kabar bahwa ia menjadi duta anti narkoba usai berbuat kesalahan seperti itu. Lawak.

Rupanya tidak sulit mencari hiburan di Indonesia. Di sekitar kita banyak sekali orang-orang lucu. Mungkin sudah bakat menjadi pelawak.

Ketiga, pernah mendengar nama Awkarin alias Karin Novilda? Sosok satu ini pastilah sangat terkenal dewasa ini, terutama di kalangan anak muda. Akan tetapi, tahukah kalau Awkarin pernah mengganti lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan kata-kata kotor? Semoga saja tahu. Karena perbuatannya itu tentu saja tidak patut dicontoh.

Adakah sanksi untuk perbuatan menggelikan itu? Silakan cari sendiri dan siap-siap kecewa. Tidak ada sanksi tegas, tentu saja. Jadi, tidak mengherankan kalau kasus-kasus seperti itu terus berlanjut. Karena tidak pernah ada hukuman jelas yang membuat pelakunya jera.

Maka dari itu, saya setuju Papua Barat diberi sanksi. Alasannya sudah saya paparkan di paragraf kelima. Namun, benarkah mereka kena sanksi? Jawabannya: ya.

Seperti diberitakan detik.com, atas insiden itu panitia pelaksana berserta pihak berwenang lainnya telah mengeluarkan pernyataan. Setelah menelaah rekaman video dan mengacu pada buku pedoman teknis, Papua Barat terkena sanksi dan denda Rp10 juta. Itu sama dengan harga 40 tulisan saya di majalah. Itu pun kalau naik cetak semua. Kalau tidak bisa bayar, kena diskualifikasi.

Hal itu, bagi saya, bagus untuk mereka. Karena dengan adanya sanksi, setidaknya mereka merasa perlu untuk tidak mengulanginya lagi. Bahkan dalam sebuah perbincangan ringan, salah seorang pemain Papua Barat mengaku menyesal. Denda itu nyatanya telah menyulitkan dirinya sendiri. Belum lagi sanksi-sanksi lainnya.

Akan tetapi, masalahnya belum selesai sampai di situ. Ada baiknya kalau insiden itu mendapat perhatian lebih serius dari berbagai pihak. Evaluasi mesti dilakukan untuk menilai kinerja perangkat pertandingan, termasuk wasit yang memimpin laga.

Setidaknya ini harus dibuktikan, apakah wasit bekerja dengan baik atau tidak. Sebab pertanyaannya—mengacu pada debat kusir di media sosial—berada di seputar, “apakah wasit memang berat sebelah?”

Jadi, harus ada tindakan preventif supaya kejadian serupa tidak terulang. Sebab basket dengan adegan jotos-jotosan itu tidak mengasyikan sama sekali. Olahraga itu harus menyenangkan, bukan jadi ajang permusuhan.

Komentar