IBL

Apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata-kata: anarki, anarkis, atau anarkisme?

Biasanya, orang-orang langsung mengasosiasikan salah satu dari kata-kata tersebut dengan peristiwa onar, kericuhan, kekacauan bahkan sampai kehancuran.

Di masa kini, makna tersebut dianggap tak keliru. Apalagi media massa, khususnya televisi sering menggunakannya untuk menggambarkan suasana kacau-balau, kerusuhan dan sejenisnya.

Saya beberapa kali menangkap teman-teman yang tahu arti sebenarnya dari kata “anarki” menjadi gerah. Secara tak langsung mereka seolah mengutuk media massa yang seharusnya menjadi pencerah, malah menyesatkan makna sesungguhnya dari kata anarki.

Lalu apa sebenarnya makna kata anarki?

Paling mudah adalah beralih ke kamus bahasa atau ke wikipedia. Sayangnya, di kamus pun makna anarki mulai mengarah ke kekacauan (disorder). Dalam makna kedua (di kamus), kata anarki baru disepadankan sebagai kebebasan absolut seorang individu tanpa campur tangan orang lain atau otoritas lain, dalam hal ini pemerintah.

Kalau ingin paham lebih dalam, tentu saja dengan membaca buku-buku dan sumber-sumber lain tentang anarki.

Saya bukanlah seorang yang sangat paham tentang anarki atau anarkisme. Tetapi dari sedikit sumber yang pernah saya baca, saya memahami bahwa sebagai paham atau isme, anarkisme sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Para penganut anarkisme menolak otoritas atas diri mereka, tetapi pada saat bersamaan menjunjung tinggi asas egaliter alias kesetaraan.

Masyarakat anarkis adalah masyarakat yang dibangun secara mandiri oleh sebuah komunitas yang mengelola diri atau kelompoknya sendiri tanpa adanya pemerintahan yang memiliki kewenangan tertentu alias otoritas.

Bagi banyak orang, cita-cita atau harapan masyarakat anarkis hanya ada di angan-angan alias utopia. Bagaimana mungkin memiliki sebuah masyarakat tanpa ada pemerintah atau negara? Mustahil. Utopia.

Namun para penganut paham anarkisme tak pernah kecil hati. Harapan akan utopia tersebut selalu ada.

Bagi saya, walau dicap mustahil, kepingan-kepingan kecil utopia tersebut tak jarang saya temui pada ranah-ranah lain.

Saya sendiri bukanlah penganut anarkisme. Tetapi hari ini, saya melihat kepingan kecil keindahan utopia para anarkis di basket 3x3. Yup, “anak” dari olahraga basket.

Basket 3x3 adalah nomor olahraga baru yang sedang diusahakan untuk tampil di ajang-ajang olahraga antardaerah dan antarnegara. FIBA sebagai induk olahraga bola basket dunia mulai memopulerkan basket 3x3 sejak tahun 2012 dan berharap agar nomor ini sudah dipertandingkan secara resmi di Olimpiade Tokyo 2020.

Di Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat 2016, basket 3x3 sudah dipertandingkan, walau sebatas eksebisi. Ini adalah syarat agar 3x3 nanti menjadi nomor resmi di PON XX Papua 2020.

Pada Asian Games yang akan diadakan di Indonesia pada tahun 2018 nanti, 3x3 akan dipertandingkan dan (kemungkinan) akan memperebutkan setidaknya tiga medali emas.

Lalu apa hubungan antara basket 3x3 dan anarkisme?

Basket 3x3 adalah satu-satunya cabang olahraga beregu yang dipertandingkan tanpa membutuhkan pelatih atau manajer sebagai pendamping tim di lapangan.

Dalam dunia olahraga berregu, pelatih atau manajer yang mendampingi tim di tepi lapangan saat bertanding adalah sosok yang memiliki otoritas tertinggi. Kalah-menang sebuah tim sering bergantung kepada kehebatan seorang pelatih dalam meramu dan menjalankan wewenangnya.

Pelatih akan menentukan siapa saja pemain yang turun ke lapangan. Pelatih juga menentukan pola permainan atau strategi apa yang akan dipakai.

Selain itu, pelatih juga memutuskan kapan mengambil time out dan kapan mengganti pemain. Pemain sehebat apa pun harus tunduk kepada kemauan pelatih.

Bisakah sebuah tim bermain tanpa pelatih di lapangan? Di 3x3, bisa. Bahkan wajib tanpa pelatih. Karena itulah aturan mainnya.

screen-shot-2016-09-29-at-2-59-09-pm

Tahun 2015 lalu, saya berkesempatan menyaksikan langsung sebuah gelaran FIBA 3x3 World Tour Beijing Masters, di Beijing, Tiongkok. Ini adalah salah satu ajang yang mempertemukan tim-tim 3x3 terbaik di dunia.

Saat itu, tim basket ranking 1 dunia, Novi Sad Al Wahda juga ikut bermain dan keluar sebagai juara. Novi Sad Al Wahda bahkan kemudian muncul sebagai juara dunia di tahun 2015.

Novi Sad Al Wahda berisi pemain-pemain dari Serbia. Mereka adalah Dusan Bulut (ranking 1 dunia), Dejan Majstorovic (ranking 4), Marko Savic (ranking 2) dan Marko Zdero (ranking 3). Ranking urutan dunia ini bisa berubah sewaktu-waktu bergantung poin setiap pemain yang didapat dari partisipasi dan prestasi bertanding di ajang-ajang 3x3.

Menyaksikan Novi Sad Al Wahda adalah menyaksikan kekompakan bermain. Tim ini sangat paham siapa saja yang menjadi pemain pertama (starter) dan kapan harus saling mengganti pemain. Dan ya, Novi Sad Al Wahda tak punya pelatih. Di luar kejuaraan pun mereka berlatih sendiri-bersama.

“Di lapangan hanya ada pemain. Itulah saat kita harus bisa saling mengatur tim kita sendiri. Kapan bergantian bermain. Setiap pemain dituntut sadar diri apakah dia berkontribusi bagi tim atau sebaiknya minta diganti saja. Begitu pula yang di bangku cadangan, harus selalu siap. Dia harus siap ketika teman di lapangan meminta dia masuk untuk main. Itu semua kita yang atur sendiri. Basket 3x3 itu adalah ‘kekitaan’. Kita berlatih strategi di luar. Tetapi di lapangan, yang penting adalah saling percaya, tidak egois. Kalau kelelahan, harus rela teman yang masuk mengganti dan main. Tidak ada pelatih yang mengatur. Di bangku (cadangan) pun, kalau kita lihat teman kita sedang wangi (bermain bagus), kita harus berbesar hati memberikan dia kesempatan main lebih lama. Harus saling percaya.”

Kalimat di atas diucapkan oleh Erlan Perkasa, pemain yang meraih dua medali emas di PON XIX Jawa Barat 2016 pada cabang basket 3x3 baru-baru lalu.

Apa yang dikatakan Erlan langsung membawa saya kepada konsep anarkisme. Tuturan Erlan seolah senada dengan cita-cita yang selama ini diharapkan oleh para anarkis. Dan tak ada yang lebih indah dalam menggambarkan utopia para anarkis terwujud di dalam olahraga basket 3x3 selain menyaksikan keindahan sekaligus kehebatan tim Novi Sad Al Wahda bermain.

Tim 3x3 terbaik adalah tim yang memiliki ikatan kimiawi tim (chemistry) yang kuat. Ini adalah rahasia umum jika ingin menang dalam bermain 3x3. Rahasia terbuka yang dijalankan dengan sangat baik oleh tim Novi Sad Al Wahda.

Di Indonesia, tim 3x3 terbaik di negeri kita ini pun merupakan tim dengan chemistry terkuat. Tim Jakarta, yang dihuni oleh Vinton Nolland, Rizky Effendi, Fandi Andika Ramadhani dan Wijaya Saputra menjalankan “prinsip-prinsip anarki” untuk menjadi yang terhebat. Mereka bahkan menjadi juara di ajang FIBA 3x3 World Tour Tokyo Masters 2012.

Akhirnya, membicarakan anarki dengan basket –bahkan bagi saya sendiri pun- terdengar aneh. Kalau pun ada ranah lain yang sering dikaitkan dengan anarki adalah ranah musik.

Di sana, bertebaran kelompok-kelompok musik dengan aliran rock, punk, ska yang kental dengan semangat anarkisme. Salah satunya, kalau ingat, Chumbawamba, band punk-anarkis dari Inggris yang salah satu lagunya (malah) jadi soundtrack Piala Dunia (sepak bola) 1998.

Atribut-atribut anarki, seperti simbol "A" atau topeng Guy Fawkes dari V for Vendetta juga akan sering kita temui di komunitas-komunitas musik dengan aliran-aliran di atas tadi. Saya hampir saja tertawa sendiri ketika membayangkan bahwa simbol-simbol tersebut bermunculan di lokasi-lokasi pergelaran pertandingan basket 3x3.

Tapi tunggu dulu. Jangan-jangan, bila anak-anak anarkis atau penggemar musik anarki ingin melihat salah satu wujud utopia mereka, mereka justru harus nonton pertandingan basket 3x3?

Ingin jadi anarkis? Tontonlah basket 3x3!

Atau sebaliknya, tim basket 3x3 terhebat adalah tim basket yang paling anarkis! Hahaha.

*Demikianlah, semoga setelah membaca tulisan ini, setidaknya kita anak-anak basket jadi tahu apa arti sebenarnya dari: anarki, anarkis dan anarkisme.

Komentar