IBL

Awal Ramadan ini, saya sudah pulang kampung duluan. Ke pedalaman/pedesaan Amerika Serikat. Saya tidak bercanda.

***

Entah kampung saya itu di mana. Lahir di Samarinda, dan keluarga ibu masih banyak di sana. Tapi, saya umur dua tahun sudah diboyong ke Surabaya.

Surabaya? Mungkin iya, karena saya besar di sini, dan sekarang tinggal di sini, dan sangat bangga jadi orang Surabaya.

Pesaingnya? Mungkin satu kota di Amerika.

Bukan, bukan Sacramento, di Negara Bagian California, tempat saya kuliah dan tinggal selama sekitar lima tahun.

Kota itu juga kalau di Indonesia mungkin tidak disebut ”kota”. Bentuknya bujur sangkar, serius. Ukurannya 1 mil x 1 mil (1,6 km x 1,6 km). Penduduknya hanya sekitar 2.500 orang.

Tidak ada mal. Tidak ada bioskop. Tidak ada supermarket.

Serius.

Letaknya pun benar-benar di ”pedalaman” Amerika.

Benar-benar di tengah-tengahnya.

Silakan lihat peta Amerika. Coba ambil empat titik imajiner, menjadikan negara itu seperti persegi panjang. Coba temukan titik tengahnya dengan menarik dua garis diagonal.

Di titik tengah itu Anda akan menemukan Negara Bagian Kansas. Kebetulan, bentuknya juga nyaris persegi panjang.

Tarik lagi dua garis diagonal. Di sekitar titik tengah Kansas itu ada sebuah ”kota” bernama Ellinwood.

Di sanalah saya dulu tinggal selama setahun. Sebagai anak SMA, bagian dari program pertukaran pelajar pada 1993–1994.

Walau hanya setahun, itulah kota tempat saya berubah. Tempat saya menemukan diri sendiri. Segala karya hidup saya sekarang benih-benihnya muncul di sana.

Di sebuah ”kampung” di tengah-tengah Amerika.

***

Di awal Ramadan ini, saat di Amerika lagi untuk belajar dan berlibur, saya menyempatkan ”pulang kampung” ke Kansas. Untuk kali pertama setelah 22 tahun.

Sebenarnya saya masih sangat akrab dengan keluarga angkat saya dulu. Namun, mereka tidak lagi tinggal di Ellinwood, pindah ke Negara Bagian Indiana. Tahun ini mereka kembali ke Kansas (di kota lain). Jadi, ini kesempatan saya untuk kembali ke SMA saya dulu.

Dulu waktu SMA, masih umur 16 tahun, saya masih belum sadar betapa ”terpencilnya” Ellinwood. Setelah menjalani tiga pekan camp bersama siswa pertukaran lain di dekat Seattle, kami baru mendapatkan kepastian sekolah di hari terakhir.

Semua diterjunkan ke kota-kota kecil. Ada yang ke Negara Bagian North Dakota, Iowa, Idaho, dan lain-lain. Azrul Ananda dapat jatah di Kansas.

Ada teman yang sempat stres karena harus tinggal di kota kecil selama setahun, bersama keluarga angkat entah siapa. Tapi, kemudian ada teman dari Jepang yang mengingatkan kita semua untuk tenang. Dia bilang: ”Tenang, ini hanya untuk setahun. Kalau kita hidup sampai 80 tahun, maka ini hanya 1/80 dari total hidup kita.”

Dalam kunjungan 20 Juni lalu, saya baru sadar betapa jauhnya.

Kalau dari Kansas City (yang terletak di Negara Bagian Missouri, bukan Kansas), kota metropolitan terdekat, jaraknya 410 km. Lebih jauh daripada Surabaya–Yogyakarta. Pulang pergi, plus mampir ke beberapa kota kecil lain, total hari itu saya nyetir mobil hampir 900 km.

Karena ini Amerika, dan Kansas sangatlah flat (datar), maka perjalanan via highway hanya memakan waktu 3 jam 40 menit. Plus sekitar satu jam karena berhenti-berhenti untuk ke toilet, isi bahan bakar, atau makan.

Dan Kansas benar-benar flat. Datar sejauh mata memandang. Di perjalanan hanya ada ladang gandum, hutan kipas pembangkit listrik (terbesar kedua di Amerika), serta tambang-tambang minyak kecil milik warga. Juga melewati pinggiran Kota Chapman yang Mei lalu dilanda tornado (YouTube: Kansas Tornado 2016).

Di Kansas memang tidak ada pohon. Orang Eropa yang menanam pohon ketika dulu ada pergerakan migrasi dari timur ke barat Amerika.

Setelah sekian jam, sampailah di Ellinwood.

Kota ini nyaris tidak berubah. Saya –bersama keluarga– langsung menuju Main Street alias jalan utama, jalanan berbatu yang panjangnya tidak lebih dari 300 meter. Toko-toko kelontong masih ada.

Sebuah hotel kecil juga ada. Beberapa stasiun pengisian bahan bakar juga ada, karena kota ini dilewati jalan antarkota, dan itu dulu jalan utama sebelum munculnya highway.

Dan ternyata, kantor koran lokal, Ellinwood Leader, juga masih ada. Keluarga angkat saya dulu pemilik koran ini. Di bangunan kecil inilah dulu saya ikut bekerja membantu mereka, belajar membuat koran.

Benar-benar takdir. Dikirim ke Amerika dengan jalur murah (beasiswa SMA) supaya tidak terlibat di industri media, ternyata malah ditampung keluarga pemilik koran.

Terbit sejak 1896, koran ini sudah beberapa kali berpindah tangan. Sekarang merupakan bagian dari jaringan koran regional di Kansas.

Masih terbit rutin. Dalam bentuk cetakan koran. Fokus memberitakan kejadian-kejadian Ellinwood, memperjuangkan kepentingan masyarakatnya.

Saya pun masuk ke dalamnya, disambut Karen La Pierre, manajer iklan The Leader. ”Maaf, mengganggu. Tapi, saya dulu bekerja di sini,” sapa saya.

Orang-orang di dalam kantor itu memang bengong. Ada apa ini orang Asia kok mengaku pernah kerja di situ. Karena dulu saya memang satu-satunya orang Asia di radius hampir 200 km. Bahkan, di SMA saya dulu, hampir semuanya kulit putih. Hanya satu Asia (saya) dan satu siswa kulit hitam.

Pekerjaan saya dulu di koran itu membantu sebagai fotografer dan layouter. Masih zaman film, sehingga saya harus menguasai peralatan manual dan cuci-cetak di kamar gelap. Dan masih zaman layout tempel manual, bukan komputer.

Setelah bincang-bincang sebentar, La Pierre langsung meminta waktu saya beberapa menit untuk wawancara. Artikelnya terbit di bagian bawah halaman depan edisi Jumat, 24 Juni lalu. Judulnya: ”Former Indonesian Exchange Student Recounts Year at EHS”.

Terjemahannya: ”Mantan Siswa Pertukaran Asal Indonesia Mengenang Masa-Masa di Ellinwood High School”.

Dan tujuan utama saya hari itu memang kembali ke SMA saya dulu.

***

Ellinwood High School hari itu sepi sekali karena memang sedang libur musim panas. Kalaupun sedang jam sekolah sebenarnya juga tidak terlalu ramai. Zaman saya dulu, dari SMP sampai SMA (kelas 7 sampai 12) total siswanya hanya 168 orang. Jumlahnya lantas naik turun. Tahun ini 180 orang.

Pintunya terkunci, tapi seorang staf administrasi mengizinkan kami masuk (”Maaf, bolehkah saya masuk? Dua puluh dua tahun lalu saya sekolah di sini”).

Sekolah ini sudah diperluas. Bangunan baru sekarang full dipakai, sedangkan bangunan lama sama sekali tidak dipakai. Walau bangunan lama dan kelas-kelasnya masih sangat dirawat. Alasannya sederhana, memaksimalkan ruang-ruang kelas baru yang lebih modern. Plus meminimalkan jarak jalan siswa dari satu kelas ke yang lain.

Saya langsung menuju lorong tempat loker saya dulu berada, plus ke kelas Newspaper/Yearbook, tempat saya dulu aktif menyiapkan koran mingguan sekolah dan buku tahunan.

Lalu saya ke gym, yang sebenarnya punya peran besar menginspirasi DBL, liga basket SMA yang saya prakarsai 2004 lalu.

Di gym itulah, dengan tribun retractable (bisa ditarik dari dinding) berkapasitas tak sampai 1.000, saya dulu banyak menghabiskan waktu. Bukan sebagai student athlete, melainkan sebagai jurnalis sekolah.

Koran SMA saya, The Eagles (sesuai maskot sekolah), terbit seminggu sekali di hari Rabu (Happy Wednesday!). Punya tiga fotografer, dua di antaranya adalah pemain basket sekolah. Saya yang ketiga. Jadi, kalau ada pertandingan basket, mau tidak mau saya yang harus memotret.

Jadi, area di sekitar ring di gym itu adalah ruang kerja saya.

Dua puluh dua tahun kemudian, rasanya aneh juga melihat gym itu. Lantai kayunya masih berkilau. Meja wasitnya… Sama persis dengan yang dipakai standar DBL di 25 kota di seluruh Indonesia!

Saya ingat betapa riuhnya gym ini kalau ada pertandingan. Anak-anak band berkumpul di tribun tengah, memainkan drum dan trompet saat jeda kuarter atau timeout.

Sayang, hari itu saya tidak sempat ke stadion football dan lintasan atletik, tempat dulu saya bergabung di tim Track and Field (atletik), bagian lari 2 mil (3,2 km). Juga tempat saya ikut latihan tim American football sebagai kicker.

Maklum, sekolah kecil, jadi semua siswa dimaksimalkan di semua ekstrakurikuler. Ada pula lapangan golf (9-Hole), tempat warga santai dan tim golf SMA berlatih.

Kalau dipikir-pikir, lumayan juga fasilitas sekolah di kampung saya ini. Padahal, letaknya jauh dari mana-mana. Ketika SMA dulu, dan saya yakin masih ada sampai sekarang, banyak teman saya yang belum pernah melihat laut. Saking jauhnya!

***

Ellinwood High School adalah satu-satunya SMA dalam hidup saya. Entah beruntung atau apes, seumur hidup saya memang hanya setahun di SMA.

Dulu berangkat dari Indonesia setelah lulus SMP, jadi seharusnya di Amerika masuk kelas 10. Saat placement test, saya diloncatkan ke kelas 11. Ini membawa masalah saat saya mencoba melanjutkan SMA di California. Saya harus mengulangi lagi kelas 11 karena kredit tidak cukup.

Tidak mau mengulang, saya konsultasi dengan departemen pendidikan di Sacramento. Setelah mengambil tes kemampuan kuliah, ternyata lulus. Jadi, saya boleh langsung kuliah, asal di junior college dulu sebelum pindah ke universitas. Sebelumnya, harus enam bulan dulu sekolah bahasa, mematangkan bahasa Inggris (kunci dari segalanya).

Ternyata tidak pernah punya ijazah SMA juga tidak masalah. Karena saya tetap lulus kuliah cum laude (he he he…) dan hidup saya sekarang rasanya baik-baik saja dan mampu berkontribusi untuk masyarakat.

Tidak seperti kebanyakan orang, tidak mudah bagi saya untuk kembali menengok SMA saya. Padahal, itu salah satu tempat paling penting dalam pembentukan diri saya. Kalau saya tidak pernah ke Ellinwood, tidak pernah tinggal bersama keluarga angkat saya (keluarga Mohn), dan tidak pernah jauh dari keluarga dan lingkungan asli, mungkin saya tidak seperti sekarang ini.

Pernahkah Anda memaralelkan hidup Anda dengan film? Kalau pernah, dengan film apa?

Saya membandingkan pengalaman Ellinwood saya itu dengan dua film. Pertama film kartun Cars garapan Pixar. Jagoannya, Lightning McQueen, menjadi sosok lebih baik setelah terdampar di kota kecil Radiator Springs.

Yang lebih mirip lagi mungkin Superman. Sang superhero adalah alien dari Kripton. Ketika kecil, pesawatnya mendarat di tengah-tengah Kansas. Diadopsi keluarga asal Kansas, yang tinggal di kota kecil fiktif bernama Smallville (serius, mirip Ellinwood dan kota kecil lain di Kansas).

Superman adalah sosok superhero yang ramah, baik hati, agak polos, agak naif. Semua itu cerminan masyarakat ”pedalaman” Kansas yang memang sederhana dan ramah. Andai tidak mendarat di Kansas, mungkin Superman jadi superhero yang berbeda.

Seandainya dulu tidak ditempatkan di Kansas, saya mungkin juga jadi orang yang berbeda. Berdiri di tengah Main Street dan di dalam gym SMA saya di Ellinwood, saya mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas satu tahun yang transformatif tersebut.

Menjelang Idul Fitri tahun ini, banyak orang akan pulang kampung. Ke tempat mereka berasal. Bertemu sanak saudara dan lain sebagainya. Juga mungkin mengenang masa lalu, mengenang momen-momen yang menentukan arah hidup sehingga menjadi seperti sekarang.

Baik maupun buruk.

Selamat pulang kampung, menemukan kembali diri sendiri. Setelah Idul Fitri, hidup kita mulai lagi, dan semoga semua menjadi orang yang lebih baik lagi! (*)

***

"Pulang ke Kampung Superman" adalah judul asli tulisan ini di kolom Happy Wednesday koran Jawa Pos hari ini.

Komentar