IBL

“Live by the three and Die by the three”

Seandainya dua pertandingan semifinal semalam (Minggu) dialihwahanakan menjadi sebuah prosa, ataupun naskah drama, nilai puitis serta tragisnya akan melampaui naskah-naskah Shakespeare dan Sophocles.

Dua pertandingan yang luar biasa tersaji semalam. Empat tim yang membawa dua panji berbeda: Replikasi kejayaan versus pembongkaran otoritarianisme. Satria Muda dan Aspac seibarat Raja dan Ratu yang belasan tahun menguasai jagad perbasketan lokal. Pelita Jaya dan CLS seibarat kaum tertindas, oposan yang berulang kali mencoba menerabas sekat itu, tapi selalu gagal.

Tapi, ini 2016, bukan lagi tahun yang ideal untuk memanjakan kaki dengan kedigdayaan masa silam. Pada semesta yang berbeda, Leicester City jadi raja baru di Inggris. Atletico Madrid, merangsak jadi pengganggu dualisme di Spanyol. Atau di NBA, tembakan tiga angka yang tadinya cuma kebutuhan tersier, kini jadi kebutuhan premier menggantikan slamdunk, dan tak bisa disubstitusi.

Sama halnya dengan basket tanah air. Akan ada penguasa baru. Pelita Jaya mengalahkan Aspac dan masuk ke final. CLS Knight mengalahkan Satria Muda dan masuk ke final. Dua tim yang tak pernah merasakan gelar semenjak pergantian milenium ini, salah satunya akan mencicipi harumnya aroma trofi juara.

Saya tak perlu membahas bagaimana jalannya dua pertandingan kemarin. Sudah banyak pakar, atau jurnalis yang pastinya lebih ciamik menerjemahkan dua pertandingan heroik semalam ke dalam ulasan-ulasan. Saya mau membahas satu hal saja, yang barangkali luput.

Tembakan tiga angka. Seperti yang saya kutip di atas, “hidup dan mati dengan tiga angka”. Angka tiga memang mistis, melebihi angka apapun. Dalam perspektif storytelling, tiga selalu jadi rujukan untuk membuat sebuah penceritaan yang menarik. “Tiga Babi Kecil”, “Three Musketeer”. Dalam basket? Tembakan tiga angka bisa jadi pembeda nasib.

Mari ambil contoh dua pertandingan semalam. Aspac melepaskan 65 tembakan, 39 tembakan dua angka, 26 tembakan tiga angka. Pelita Jaya melepaskan total 56 tembakan, 42 tembakan dua angka, 14 tembakan tiga angka. Pelita Jaya menang 60-58 atas Aspac. Tanpa bermaksud mengecilkan game winner Kelly Purwanto, tapi statistik ini jauh lebih mencengangkan saya.

Aspac hanya mampu memasukkan 4 tembakan dari 26 percobaannya, alias setara dengan 15% akurasi! Saat menyaksikan pertandingan ini saya heran. Kenapa mereka masih memaksakan untuk melepaskan tembakan tiga angka?

Padahal besar peluang mereka memenangkan game ini kalau mereka memaksimalkan tembakan dua angka mereka, baik jumpshoot, ataupun serangan ke paint area. Tapi, sekali lagi, meskipun hanya satu tembakan tiga angka yang masuk, dampak psikologisnya akan begitu besar bagi kedua tim. Mungkin itu yang menjadi alasan.

Game antara CLS Knight versus Satria Muda secara umum terlihat heroik, klimaks, dan dramatis. Namun, secara statistik, lebih mencengangkan dibanding pertandingan Aspac vs PJE. Satria Muda menceploskan 25 dari 76 tembakan mereka, 20/50 dari tembakan dua angka, 5/26 dari tembakan tiga angka. CLS memasukkan 19 dari 60 tembakan mereka, 12/30 dari dua angka, 7/30 dari tiga angka. CLS Menang 76-70 lewat overtime.

Lho, kok? Yeah, CLS mendapatkan 46 free throw dan memasukkan 31, sementara SM hanya memasukkan 15 dari 29 free throw mereka.

Abaikan sedikit kejomplangan jumlah free throw, lihat statistik tiga angka mereka. Akurasinya begitu rendah, tapi untungnya SM beradaptasi dengan tembakan dua angkanya. CLS? Setengah percobaan tembakan mereka adalah tembakan tiga angka. Dan hanya masuk 7 saja, alias 23%. Saya rasa, secara statistik, CLS sangat beruntung mampu memenangkan game ini.

Saat SM mengejar mereka di kuarter keempat, betapa banyak CLS menyia-nyiakan kesempatan offense lewat tembakan tiga angka yang mubazir. Seharusnya mereka bisa menutup pertandingan ini lebih cepat kalau mereka lebih banyak menyerang paint area dan membuat high-percentage shoot.

Dalam konteks seperti ini, saya tak lagi melihat tembakan tiga angka sebagai sesuatu yang oportunistik, dalam artian membantu tim memenangkan pertandingan. Okelah, saya tak munafik, momen-momen di mana Prastawa membuat four point play, duel Amin dan Okiwira yang berbalas tembakan tiga angka memang sebuah momen yang mendebarkan, dan sangat seru. Seperti layaknya judi, tak ada yang tahu apa hasilnya, tapi ketegangan terus terasa. Menang untung, kalah buntung.

Sama bukan dengan tembakan tiga angka? Satu tembakan masuk bisa mengubah segalanya, tapi satu tembakan yang gagal barangkali akan disesali kemudian.

Pada prinsipnya revolusi tembakan tiga angka sudah mengubah segalanya; pola serangan yang dirangkai untuk memudahkan shooter, yang juga memaksa pemain untuk memperluas area tembakan mereka. Bisa jadi 10 tahun lagi 80% dari percobaan tembakan di sebuah pertandingan akan berasal dari tembakan tiga angka.

Tapi, itu tak penting, yang terpenting sekarang adalah kita akan mempunyai alternatif juara, selain Aspac dan Satria Muda. Sudah.

Foto: IBL

Komentar