IBL

Sebagian orang membicarakan basket sebagai permainan belaka. Mereka bicara tentang hasil akhir, analisa dan prediksi, statistik, kejadian-kejadian saat itu, serta aktor-aktor utama yang terlibat. Bingkai empat kuarter—atau lebih jika terpaksa overtime—yang kelihatannya begitu-begitu saja. Namun, tidak juga ada yang salah dengan itu.

Semua terjadi begitu wajar karena setiap orang punya hak untuk memaknai basket dari kacamata apapun. Lantas sebagian lainnya merasa perlu memaknai basket—dengan segala dinamikanya—dari sisi yang lain. Dalam pandangan orang-orang yang demikian itu, basket bukan ihwal permainan belaka melainkan satu sisi kehidupan. Mereka menikmati basket tidak hanya berdasarkan pandangan dan pikiran mereka. Mereka melengkapinya dengan sebuah rasa.

Itu pula yang bisa saya lihat dalam diri Fictor Gideon Roring. Nakhoda anyar Garuda Bandung itu mengajarkan kepada anak asuhnya untuk hidup disiplin. Pertandingan yang mereka jalani adalah cerminan dari kesehariannya. Ia tekankan kepada anak asuhnya untuk selalu ada rasa—seperti dahaga dan lapar—dalam diri masing-masing untuk terus memenangkan setiap pertandingan. Itu tertanam sejak dari bangun tidur dan terlelap lagi. Saya mendengarnya dari salah satu pemain.

Suatu waktu, saya melawat ke hotel tempat para pemain Garuda menginap di Bandung. Saya berjumpa dengan Wendha Wijaya untuk keperluan wawancara. Dalam perbincangan hangat itu, ia membuka sebuah cerita tentang bagaimana pelatihnya menanamkan kedisiplinan. Sampai hal paling remeh sekali pun seperti sarapan tepat waktu. Jika tidak melakukannya dengan benar, siap-siap saja menerima hukuman.

Kedisiplinan adalah salah satu modal bagi mereka untuk bermain bagus di lapangan. Sejak menanamkan itu dalam kehidupan sehari-hari, sudah barang tentu terbawa ke dalam permainan. Displin membawa diri untuk meminimalisasi kesalahan. Bahkan yang terkecil sekali pun. Lebih dari itu, disiplin seperti sebentuk cinta dan loyalitas kepada permainan.

Satu hal lagi yang sama penting dengan disiplin adalah hasrat. Sebuah cinta lain yang ia buktikan untuk permainan. Lihatlah bagaimana orang-orang mengingat megabintang Kobe Bryant. Suatu ketika, seorang pensiunan NBA bernama Ron Harper membicarakan Kobe: “Aku ingat pernah berpikir, Oh, Tuhan. Anak ini berada di tingkat yang berbeda.”

Pernyataan lain dari Horace Grant di The Players’ Tribune tentang Kobe bahkan lebih mengagumkan: Kobe terobsesi. Sepanjang musim, ia bekerja sangat keras. Tapi di akhir musim? Seekor hewan. Ia akan bangun pukul lima pagi, pergi ke gym selama empat jam melatih tembakan dan post-up, setelah itu ia akan angkat beban selama dua jam. Lalu ia akan pulang ke rumah sebentar dan kembali lagi setelah petang dan menembak beberapa kali lagi. Itu nyata. Setiap hari. Setiap. Hari.”

Sedemikian hebat kerja kerasnya. Hasilnya? Tidak perlu saya ceritakan di sini karena sudah terlalu banyak orang terinspirasi darinya. Bahkan ia sanggup membuat seorang dewasa menangis sesenggukan di suatu sudut perpustakaan (silakan baca Kobe: Antara Cinta dan Inspirasi karya Abdul Jabbar Al Hayyan).

Maka dari itu, sudah cukupkah kita membicarakan tentang hasil akhir, analisa dan prediksi, statistik, kejadian-kejadian saat itu, serta aktor-aktor utama yang terlibat? Sungguh saya kira orang-orang tidak hanya perlu bicara soal teknis. Sebab dari sebuah permainan—yang bagus atau buruk sekali pun—ada sebuah kisah yang semestinya tidak kita lewatkan. Karena basket itu cermin kehidupan. Setiap orang mengejar perginya bola ke mana. Kedisiplinan dan hasrat membawa orang-orang ke arah yang benar.

Komentar