IBL

Beberapa hari belakangan ada fenomena menarik di Instagram. Beberapa penggemar mengunggah foto lama seorang pemain basket yang sudah hampir semusim tak lagi bermain di liga tertinggi Indonesia, Dimaz Muharri.

Sebelumnya juga sudah ada yang menulis tentang ini. Namun, cukup menarik jika menyimak beberapa komentar yang menginginkan dia kembali bermain, setidaknya memberikan pertandingan perpisahan yang tentunya akan selalu diingat oleh fansnya. Apalagi berita tentang pensiun dininya memang sempat membuat semua terkaget-kaget dan tidak percaya. Meski begitu dia tetap bergeming pada pendiriannya untuk menjadi pelatih DBL Academy.

Saya tidak ingin mempertanyakan keputusannya atau berniat menghakimi pilihan yang dia ambil. Saya tertarik melihat mengapa seorang Dimaz ini begitu dirindukan, begitu sangat dinantikan pertandingannya. Kala ia tak bermain, berapa banyak yang akan bertanya-tanya. Padahal sebelum dia ada banyak pemain yang juga memutuskan pensiun. Lolik, Riko Hantono, Denny Sumargo, Bonanza Siregar, Welly Situmorang, Xaverius Prawiro dll.

Mengapa tidak menanyakan kapan Ius (Xaverius) bermain kembali atau apakah seorang Densu (Denny Sumargo) akan berniat kembali lagi setelah bosan bermain film?

Menurut saya, Dimaz memunyai hal yang tidak semua pemain basket punya. Dalam hal interaksi dengan fans di media sosial. Hanya sedikit pemain yang benar-benar meluangkan waktunya untuk sekedar membaca dan menanggapi. Beberapa pemain terlalu malas membalas. Biasanya hanya me-RT saja. Nah, Dimaz ini adalah satu dari sekian pemain yang masih menyempatkan membalas twit fans atau siapapun, meski hanya dibalas "(y)" atau "thanks". Mungkin terlihat sepele, tapi siapa sih yang tidak berbunga-bunga kalo twitnya bisa dibalas oleh sang pujaan hati?

Saya paham ketika tim kalah, suasana hati pemain tidak enak, sedih, kalut, kecewa. Tapi dengan mengabaikan fans yang telah berdiri kesemutan menunggu dibalik pagar pembatas juga bukan hal yang menyenangkan. Yang saya lihat, meski lelah dan suasana hati tidak mengenakkan, Dimaz tetap berusaha melayani permintaan fans. Banyak pemain yang saat timnya kalah memilih ngacir dan mengabaikan fans berdiri hampir kesemutan.

Bisa menyembunyikan rasa kesal, sedih, dan kecewa dan senang hati menerima ajakan foto bersama atau sekadar oleh-oleh tanda tangan di jersey kesayangan adalah sesuatu hal sederhana yang membanggakan. Mungkin bukan untuk hari ini, tapi bertahun-tahun yang akan datang. Pernah berfoto atau mendapat tanda tangan pemain basket legendaris Indonesia tentu hal yang membahagiakan yang suatu saat bisa diceritakan ke anak cucu atau 10 atau 20 tahun mendatang.

Sikap Dimaz di lapangan, sikap ia dengan pemain lawan, sikap ia saat menghadapi kemenangan, kekalahan, kesal karena keputusan wasit menjadi panutan atau bahkan motivasi anak muda lainnya. Sikapnya yang jarang emosian juga memberikan nilai plus seorang pemain profesional.

Ia dirindukan untuk bermain dan menyapa fansnya kembali, ia juga dibutuhkan untuk mendidik dan berbagi ilmu dengan anak-anak untuk menggapai mimpinya, mencintai passion-nya. Sehingga kelak lahir "Dimaz-Dimaz" baru dari DBL Academy yang akan meneladani sikap ia di lapangan atau di luar lapangan.

Apakah rindu ini kelak akan terbalas layaknya seorang kekasih yang lama tak bersua, mari kita nantikan.

Komentar