IBL

Saya merasa bodoh sekali. Seorang pria dewasa sesenggukan di pojok perpustakaan setelah mengetahui Los Angeles Lakers memenangkan pertandingan terakhir mereka di akhir musim ini.

Ini cuma permainan bola basket, tidak perlu terikat terlalu dalam secara emosional di dalamnya, sekali lagi ini cuma permainan. Tapi akal sehat saya tidak bisa membohongi rasa sesak di dada yang tidak hanya seolah menghirup tiap jengkal udara di dalam rongga paru tetapi juga memaksa kucuran keringat untuk menetes lewat sudut mata.

Ingat, cuma keringat saja kok. Setelah menarik nafas dalam, menenangkan diri, menegakkan postur sembari membenahi lipatan jas, pikiran saya ternyata tetap saja bergejolak.

Kobe Bryant baru saja mencetak 60 angka di pertandingan terakhirnya. Dan setelah ini, ia tidak akan bermain lagi di NBA.

Dia bukan saudara, tetangga apalagi, pulau Jawa dan Amerika Utara itu jauh sekali jaraknya. Rekan kerja juga bukan, koneksi terdekat saya dengannya hanyalah bos saya pernah makan malam dengannya. Itu saja! Tapi kenapa sedih sekali rasanya menyadari bahwa tidak akan ada lagi nama Kobe Bean Bryant di roster Los Angeles Lakers musim depan.

Mungkin persepsi, ya, persepsi bahwa ada kedekatan antara dia dengan saya, itu yang membawa sendu. Seperti melepas seorang teman di saat ia wisuda, seperti akan kehilangan teman yang selalu terlihat dan dicontoh, seperti kehilangan kakak kelas yang dengan caranya sendiri memberi petunjuk bagaimana "Killing it!" Mungkin karena ada beberapa kesamaan sifat, maka ada personifikasi yang tanpa sadar saya ciptakan di dalam dirinya. Apapun itu, Kobe mengajari saya banyak hal.

Saya bukan orang yang istimewa, tidak pintar sekali, tidak atletik sekali. Kobe pun selalu dianggap biasa saja oleh para pembencinya (haters). "Alaaah, adu badan lah sama Jordan atau LeBron deh, lebih kuat dan lebih cepet lawannya vroh!"

Ketika saya tonton rekaman pertandingan Kobe, LeBron, Jordan, saya harus mengakui sambil menelan rasa getir dari kekalahan argumen saya. Kapabilitas fisik Kobe memang tidak sebesar MJ dan atau LBJ. Mereka berdua seperti kereta api yang bisa terbang, kereta udara.

Bukan berarti KB bukan atlet dengan fisik yang medioker -ya ampun, mana bisa double clutch reverse dunk kalau tidak atletis. Tetapi mereka berdua memang terlalu kuat untuk ditabrak, terlalu tinggi untuk ditahan di darat. Kelihatannya KB pun sadar akan hal itu. Maka ia mendorong kemampuan fisiknya hingga maksimal, lalu untuk mengejar kekurangannya ia menyempurnakan kompetensi fundamental dan psikologisnya. Ia menciptakan Black Mamba untuk melawan terjangan banteng LBJ.

Dia pun orang yang keras kepala, statistik bukan hal yang utama kata KB. %FGnya di 1/4 akhir kariernya seperti mimpi buruk buat saya untuk berdebat dengan teman yang membenci Kobe. Untuk mencapai poin yang banyak, ada begitu banyak korban attempt yang tak masuk.

Sampai sampai seorang analis menelorkan istilah "Kobe assist."

Tapi sepertinya saya pun harus meniru itu, karena upaya yang tidak saya ambil adalah peluang dengan 0% keberhasilan. Semakin banyak saya mencoba, semakin banyak saya gagal, maka semakin besar probabilitas saya untuk berhasil.

Prinsip itu ternyata berujung pada bahan bully yang lain: akibat dari sifat maruknya, KB selalu disebut sebagai seorang ballhog. "Pass? Just get the rebound!" Pada beberapa saat, terus terang saya benci sekali dia bermain 1 on 1+1+1+1+1.

Hanya saja ketika saya melihat bagaimana performa rekan-rekannya, baru saya paham bahwa ia sedang memanggul timnya. Untuk pernyataan ini, rasanya saya memang bias, karena ketika olimpiade London pun pergerakan bola tim USA menjadi lambat ketika KB main.

Dasar fans berat dengan kemampuan sosial yang rendah, saya tetap mengambil pelajaran dari topik ini, bahwa pada akhirnya kemampuan saya harus mencapai sebuah titik hingga bisa saya andalkan untuk memanggul semuanya sendiri tidak peduli bagaimana kondisi di sekitar.

Saya bisa saja terus mencari aspek dari KB yang bermata dua sebagai pembelaan atas idola saya, "Dia begini tapi begitu!" Tidak akan berhenti, karena ia memang punya banyak cela, mau apalagi, dia sendiri memgakui bahwa dia seorang a$$h0£e.

Namun ada dua hal yang membuat saya akan selalu menaruh hormat. Cinta dan Etos kerja.

Ia mencintai proses. Ia mencintai proses karena ia mencintai olahraga ini. Latihan sebanyak apapun adalah perayaan baginya. Sudah banyak cerita tentang ini: pelatih fisik membuat janji dengan Kobe, di saat waktunya mereka bertemu dan berlatih, ternyata KB sudah memulai latihan dua jam sebelumnya.

Setelah mereka selesai berlatih, ia masih melanjutkan dengan sesi latihannya sendiri. Cerita lainnya: ketika Lakers baru saja kalah bertanding, bukannya langsung pulang, KB malah berlatih menembak hingga lewat tengah malam.

Bukti cinta lainnya yang sudah sangat terkenal: ia sedang bertanding melawan Warriors, di sebuah drive tiba-tiba saja kakinya tak mau lagi melangkah, prit, wasit meniup peluit tanda terjadi pelanggaran. Tendon achillesnya robek.

Tahu patah tulang? Level cederanya mirip seperti ini. Apa yang kamu lakukan ketika kamu cedera seperti itu? Kamu berhenti main, minta pertolongan medis, lalu diangkut keluar lapangan. Tapi Kobe bukan orang seperti itu,

Ia berdiri di garis tembakan bebas, melesakkan dua kali tembakan bebas, lalu berjalan sendiri ke ruang ganti.

Cerita tidak berhenti di sini. Ia jalani operasi dan proses rehabilitasi selama berbulan-bulan, lalu kembali berlatih dan bermain walau dia sudah bukan pemain yang sama lagi.

-----------------------------------------------------

Kamu bukan siapa-siapa, kamu cuma orang biasa. Kobe? Dia salah satu atlet terbaik di dunia dan dia sedang bekerja keras saat ini. Lalu kenapa kamu yang biasa-biasa saja ini tidak berusaha sekeras Kobe?

Itu adalah percakapan yang selalu muncul di kepala saya tiap saya menemui hambatan dalam diri.

Katanya cinta, kok setengah setengah? Katanya passion, kok hangat-hangat tahi ayam? Kadang-kadang tamparan ini berhasil mengangkat pantat saya dari kursi, kadang-kadang tidak. Saya bukan kamu Kobe, tapi kamu di depan sana memaksa saya untuk berlari, saya berlari di kerumunan belakang sana. Kalau tidak bisa jadi ular mamba, ular sawah juga tidak apa-apa.(*)

Gambar: NBA.

Komentar