IBL

Sejauh ini saya menyukai menulis untuk memelihara dan membagi cerita tentang bola basket. Menulis bagi saya sama dengan mengabadikan ingatan. Seperti ucapan seorang penulis lawas, mendiang Anaïs Nin: kita menulis untuk untuk mencicipi kehidupan dua kali, pada saat itu dan saat mengingat kembali.

Zaman memang berubah, tulisan rupanya tidak lagi menjadi satu-satunya media perawat ingatan. Sejak adanya film dan televisi, orang-orang mulai mengabadikan kehidupan mereka dalam sebuah layar. Film bagi saya menjadi media lain untuk mengabadikan ingatan itu. Maka tidak heran kalau kisah-kisah nyata dunia basket diadaptasi menjadi film.

Sebut saja film terkenal seperti More Than a Game (2008). Sebuah film yang mengisahkan hidup megabintang LeBron James. Atau The Year of Yao (2005), film dokumenter pemain NBA pertama asal Tiongkok bernama Yao Ming. Bahkan idola saya, Steve Nash, membuat seri berjudul The Finish Line (2014) bersama Grantland.

Film di atas hanya sederetan film yang mengisahkan para pemain basket. Bahkan mereka sudah terkenal sebelum film itu dibuat. Lantas, adakah film mengisahkan hikayat seorang pelatih? Jawabannya: ada. Saya telah menonton tiga film tentang pelatih-pelatih hebat. Mereka yang membawa timnya ke tingkat yang lebih tinggi dengan kebijaksanaannya. Film-film itu diangkat dari kisah nyata para pelakunya.

Coach Carter (2005)

Film ini mengisahkan seorang pelatih SMA bernama Ken Carter (diperankan Samuel L. Jackson). Mulanya ia datang ke sekolah lamanya, Richmond High School, untuk melatih. Ketika pertama kali datang ke lapangan, ia mendapati anak asuhnya tidak mempunyai sikap yang baik. Lantas ia menyodorkan kontrak berisikan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Dalam kontrak itu, para pemainnya harus mematuhi beberapa aturan. Salah satu aturannya adalah memiliki nilai yang cukup untuk lulus di setiap kelas. Carter tipikal pelatih keras yang tidak ingin anak asuhnya mengabaikan pendidikan. Sampai suatu hari beberapa pemainnya justru melanggar kontrak. Di situlah konflik mulai bermunculan.

Dari berbagai konflik itu, penonton banyak mendapat pelajaran. Pendidikan tentu saja menjadi hal utama di samping basket. Carter mengajarkan bagaimana kehidupan itu harus ditopang juga dengan pendidikan yang layak. Apalagi remaja-remaja di Amerika Serikat saat itu banyak melakukan hal menyimpang seperti bergabung dengan gangster dan narkoba. Carter berusaha mengeluarkan mereka dari sana.

Glory Road (2006)

Film kedua ini menceritakan kisah seorang pelatih di sebuah universitas bernama Texas Western College. Don Haskins (diperankan John Lucas) memimpin tim yang berlaga di NCAA. Ia memiliki tugas merekrut pemain-pemain muda berbakat untuk bermain di timnya.

Tugas itu kemudian membawanya pada sebuah persoalan rasisme dan diskriminasi. Pada zaman itu, orang-orang masih menyisihkan kulit hitam. Tidak banyak yang suka memainkan kulit hitam di lapangan. Don Haskins menjadi orang pertama dalam sejarah NCAA menyusun lima pemain utama berkulit hitam. Ia merekrut kulit hitam supaya berlaga di liga meski nada ketidaksetujuan selalu merongrongnya.

Don Haskins pada akhirnya membuktikan kalau basket bukan olahraga permainan yang rasis dan memelihara diskriminasi. Basket sudah seharusnya menjadi alat pemersatu. Siapa pun boleh bermain basket. Bukankah bermain bersama tanpa diskriminasi itu indah?

Hurricane Season (2010)

Film ketiga mengisahkan seorang pelatih bernama Al Collins. Collins (diperankan Forest Whittaker) melatih sebuah sekolah bernama John Ehret High School. Ia tetap melatih walau kota mereka, New Orleans, Amerika Serikat, baru saja diluluhlantakan badai Katrina.

Pasca badai, kehidupan masyarakat kota itu begitu naas. Orang-orang kehilangan rumahnya. Mereka menjadi pengungsi di negeri sendiri, bahkan tidak sedikit dari mereka pindah ke kota lain. Collins justru memilih bertahan di kota itu bersama timnya meski istrinya sendiri tidak setuju.

Collins kemudian membentuk ulang timnya. Ia membentuk tim dari segelintir pemain dari wilayah timur dan barat. Bahkan ia merekrut pelatih rival sekotanya menjadi asisten. Ia berusaha menyatukan mereka meski itu justru menjadi tugas berat kedua pelatih itu. Pemuda dari timur dan barat saling berselisih sepanjang waktu walau kini berada dalam satu tim.

Tugas berat itu menjadi misi Collins menjuarai liga. Ia paham bagaimana sebuah tim perlu menyatukan visi dalam bermain. Ia juga mengajarkan kepada semua orang untuk tidak menyerah walau badai menghancurkan hampir segala yang ia miliki.

Dari ketiga film di atas, seharusnya kita bisa memetik berbagai hal. Pelajaran-pelajaran dari kisah nyata itu mungkin tidak tersiar luas jika tidak ada film. Film menjadi perantara petikan-petikan kisah dari hikayat yang tidak terceritakan lewat media lain. Mampukah kemudian para sineas membantu basket Indonesia menceritakan kisahnya sendiri? Toh, saya lihat perfilman di negeri ini sudah sangat baik.

Komentar